Penghafal Al Qur’an seharusnya menjadi orang yang berakhlaq seperti Rasulullah saw. Rasulullah saw dan sahabatnya adalah gambaran amaliah dari al Qur’an, Aisyah pernah ditanya tentang akhlaq Rasulullah saw, lantas ia menjawab: “Akhlaqnya adalah al Qur’an.” (HR Ahmad) Maksudnya jika engkau ingin mengetahui akhlaq Rasulullah saw maka bukalah dan bacalah al Qur’an.
Kewajiban umat Islam hari ini, jika ingin menjadi Ahlu al Qur’an sebagaimana sabda Nabi SAW:
إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا : مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ : أَهْلُ الْقُرْآنِ هُمْ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ
“Sesungguhnya Allah memiliki keluarga, Beliau ditanya: Siapakah mereka wahai Rasulullah? Nabi menjawab: “Ahlu al Qur’an adalah keluarga Allah dan orang yang mendapat kekhususan-Nya.” (HR Ibnu Majah) bukan hanya dengan membaca lewat lisan dan hati sedangkan amalannya jauh dari petunjuk al Qur’an dan menghilangkan syafa’atnya di hari kiamat.
Ulama salaf mengatakan: “Bisa jadi seseorang membaca al Qur’an dan al Qur’an melaknatnya, ia membaca ayat “Ketahuilah bahwa laknat Allah bagi orang-orang yang berdusta” dan ia berdusta, ia membaca ayat “Ketahuilah bahwa laknat Allah bagi orang-orang yang dhalim” dan ia berbuat dhalim, ia membaca ayat “Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” Dan ia berbuat khianat, al Qur’an mengancamnya bahwa ia tidak akan mendapatkan syafa’atnya, bagaimana ia akan mendapat syafa’at sedangkan amalannya demikian? Syafa’at al Qur’an hanya diberikan kepada orang yang membaca dan mengamalkannya.
Imam Tirmidzi dalam kitab Faidh al-Qadir menjelaskan bahwa ahlu Al Qur’an itu hanya bagi para penghafal Al Qur’an dan pembaca al Qur’an yang tidak ada kezaliman (syirik) dalam hatinya serta tidak ada kejahatan dalam dirinya.
Dan, bukanlah ahlu al Qur’an, kecuali mereka yang sudah menyucikan dirinya dari dosa-dosa, baik yang zahir maupun yang batin, serta menghias dirinya dengan segala bentuk ketaatan, dan ketika itulah mereka menjadi ahlu Allah SWT. Itulah yang dicontohkan Rasulullah saw.
Untuk menjadi keluarga Allah sebagai ahlu al Qur’an dan golongan yang membangkitkan peradaban baru berlandaskan Alquran, pernyataan Sayyid Quthb dalam kitabnya Ma’alim fi al-Thariq dapat kita jadikan pandangan yang bagus. Ia menjadikan generasi sahabat Nabi sebagai barometer. Yang menjadi pembeda antara generasi sahabat dan generasi-generasi setelahnya, yakni hanya al Qur’an satu-satunya sumber mata air tempat mereka mengambil air minum.
Dari madrasah Alquran inilah mereka keluar dan dengan berdasarkan al-Quran itu mereka menyesuaikan dan mengatur kehidupan mereka. Hal tersebut bukan karena tidak adanya peradaban atau kebudayaan lain. Bukan juga karena tidak ada ilmu pengetahuan, hasil tulisan, ataupun kajian. Melainkan, pada masa itu sudah ada peradaban Romawi yang begitu maju, juga dengan peradaban Yunani dengan segala logika, filsafat, dan seninya. Selain itu, ada peradaban Persia yang menguasai wilayah yang luas. Dan, memang Nabi saw sengaja menjadikan al Qur’an sebagai satu-satunya sumber yang membentuk jiwa dan pribadi para sahabat. Maka dengan menjadi penghafal Al Qur’an akan membawa kita lebih dekat dengan generasi mereka.
Perbedaan kedua adalah dalam manhaj dan cara menerima dakwah Al Qur’an itu. Para sahabat tidak membaca al Qur’an dengan tujuan untuk mencari dan mendapatkan wawasan atau pengetahuan, juga bukan sekadar untuk merasakan dan menikmatinya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mempelajari Al Qur’an untuk sekadar menambah pengetahuan atau untuk menambah bobot ilmiah dan kepintaran dalam ilmu fikih. Mereka menerima dan membaca Al Qur’an untuk menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan masalah pribadi mereka, masyarakat tempat mereka hidup, dan kehidupan yang dijalaninya bersama jamaahnya. Mereka menjadi penghafal Al Qur’an, jauh dari tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi semata.
Faktor lain yang perlu menjadi perhatian, yaitu ketika para sahabat ini masuk Islam, mereka melepaskan diri dari semua masa lalu yang berbau jahiliyah. Sehingga, ketika masuk Islam, mereka seakan-akan membuka lembaran baru dan menutup rapat-rapat masa kejahiliyahan.
Maka kewajiban umat Islam hari ini adalah kembali pada al Qur’an, membaguskan bacaan al Qur’an, membaguskan ketika mendengar al Qur’an, memahami, mentadabburi dan hidup bersamanya dengan hati dan akal kita, lalu menjadikannya hukum dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, politik dan ekonomi. Al Qur’an adalah cahaya umat ini, tetapi sayang kita belum bisa memanfaatkannya sekalipun cahaya ini bersama kita dan di tangan kita.