AQIQAH SYAFIIYYAH | Madzhab Syafi'i Dalam Memandang Aqiqah

 

Sudah menjadi hal yang lumarah di kalangan umat islam terkhusus di Indonesia, setiap mereka yang baru melahirkan anak untuk menyembelih hewan sembelihan pada hari ke tujuh dari masa kelahiran. Hal tersebut biasa disebut aqiqah.

Mengingat bahwa di Indonesia adalah mayoritas muslim yang bermadzhab syafiiyyah, alangkah baiknya penulis akan sedikit mengupas perihal aqiqah dalam kaca mata Imam Syafi’i rahimahullah. Sebagaiman yang kita ketahui bersama bahwa islam setidaknya memiliki 4 madzhab terkenal yang menjadi pedoman dalam menjalankan amal syariat. Untuk itu, fokus penulis adalah apa yang berkaitan dengan madzhab syafi’i secara singkat dengan tidak mengurangi esensi yang ada

Aqiqah adalah sebuah sunnah yang Rasulullah pernah melakukannya. Secara garis besar, aqiqah bermakna sesembelihan yang disembelih perihal kelahiran seorang anak. Seperti yang diriwayatkan oleh buraidah bahwasannya Rasulullah s mengaqiqahkan hasan dan husain. Namun, dalam konteks hadits tidak disebutkan bahwa Rasulullah mewajibkan hal tersebut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abi Said dari bapaknya bahwasannya Nabi pernah ditanya tentang aqiqah. Lantas Rasulullah bersabda:

“ Aku tidak suka beraqiqah. Namun, jika salah seorang diantara kalian melahirkan anak dan senang untuk menyembelih hewan atas kelahirannya, maka kerjakanlah.” Hadits tersebut menyandarkan kata senang, yang bermakna bahwa rasul tidak mewajibkannya secara mutlak.

Dalam menyembelih hewan aqiqah, ada beberapa sunnah yang dilaksanakan oleh rasullah s. Jika seseorang melahirkan anak laki-laki,  maka sunnahnya adalah menyembelih dua kambing berumur 2 tahun. Dan jika yang dilahirkan anak seorang anak perempuan, maka sunnahnya adalah menyembelih satu kambing berumur dua tahun. Rasullah bersabda, “ Bagi anak laki-laki dua kambing berumur 2 tahun yang standar, dan bagi anak perempuan satu kambing. Hikmah dari dibedakannya jumlah sembelihan ini adalah karena syariat aqiqah dijadikan untuk kebahagiaan atas kelahiran seorang anak. Dan seseorang yang melahirkan anak laki-laki pada saat itu dan pada umumnya lebih berbahagia. Maka, menyembelih hewan aqiqah pun lebih banyak dari saat melahirkan anak perempuan.

Akan tetapi jika seseorang hanya mampu untuk menyembelih satu kambing saja pada kelahiran anak laki-laki, maka diperbolehkan. Sebagaiman yang diriewayatkan oleh ibnu abbad dia berkata, “ Rasulullha beraqiqah untuk hasan dan husain domab jantan satu satu.

Kriteria kambing yang diperbolehkan adalah kambing atau domba yang berumur lebih dari satu tahun, terebebas dari cacat sebagaimana hewan udhiyah. Disunnahkan saat ingin menyembelihnya agar mengucap doa:

اللهم لك وإليك عقيقة فلان

“ Ya Allah, hanya untuk-Mu dan kepada-Mu aqiqah fulan ini”

Sunnah yang lain yang disebutkan dalam kitab al-majmu syarhu muhadzdzab adalah saat hewan sudah disembelih, hendaknya daging dipisahkan dari tulangnya dan dibagi-bagi serta tidak menghacurkan tulangnya untuk mengambarkan harapan besar dari keselamatan diri anak. Yang disunnahkan juga untuk memasak dagingnya dengan masakan yang manis untuk menggambarkan besar pengharapan bahwa kelak anak tersebut memiliki akhlak yang manis dan baik. Sunnah lain dalam beraqiqah adalah memakan daging tersebut serta mensedekahkannya dan meghadiahkannya kepada sanak saudara atau kerabat serta tetangga. Sebagaimana yang Aisyah sebutkan dalam perkataannya, “Sebuah Sunnah yaitu menyembelih dua kambing bagi kelharian anak laki-laki dan satu kambing bagi anak perempuan, dimasak dalam keadaan terpotong-potong dan tulangnya tidak dihancurkan.”

Hari pemotongan hewan aqiqah adalah tepat hari ketujuh dari kelahiran anak karena Rasullah mengaqiqahkan hasan dan husain pada hari ketujuh mereka setelah dilahirkan. Akan tetapi, jika seseorang ingin melaksanakannya sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka hal itu tidak dipermasalahkan. Karena, syariat aqiqah dilaksanakan ketika muncul sebabnya, yaitu kelhairan anak.

Mencukur habis rambut anak setelah kambing disembelih termasuk bagian dari sunnah sebagaimana yang diriwayatkan oleh aisyah. Hal ini menjadi makruh ketika rambut yang dipotong hanya sebagian dan meninggalkan sebagiannya. Diriwayatkan oleh ibnu Umar bahwa rasulullah s melarang berbuat qoza’ pada kepala (memotng sebagian dan membiarkan sebagian lain), dan disunnahkan untuk melumuri dengan minyak za’faron serta makruh melumuri kepalanya dengan darah sembelihan. Karena pada zaman jahiliyyah mereka menempelkan darah hewan dikapas lantas menaruhnya pada kepala anak. Maka, rasulullah memerintahkan untuk memotongnya pada leher hewan.