SEKILAS INFO
: - Sabtu, 20-04-2024
  • 1 bulan yang lalu / Telah di buka SEDEKAH BUKA PUASA UNTUK SANTRI Darul Fithrah, mari kita raih pahala sebanyak banyaknya salah satunya dengan memberi makan dan minum orang yg berpuasa di bulan Ramadhan yg mulia ini.
  • 1 bulan yang lalu / Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an , mari kita gunakan waktu di bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak membaca dan mentadabburi isi Al Qur’an.
  • 3 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
AQIQAH DALAM FIKIH ISLAM

 

Pengertian Bahasa

Rambut bayi yang lahir, yang mana rambut tersebut tumbuh di rahim ibunya.[1]

Pengertian Istilah

Hewan yang disembelih pada hari ketujuh, hari pencukuran kepala.[2] Atau hewan yang disembelih untuk anak yang lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah dengan niat dan syarat khusus.[3]

Al-Ashma’i dan selainnya berkata, “Sebenarnya aqiqah adalah rambut yang ada di kepala bayi ketika lahir. Adapun kambing yang disembelih saat itu dinamakan aqiqah dikarenakan rambut tersebut akan dipotong ketika penyembelihan.”[4]

Sedangakan Al-Azhari berkata, “Asli kata aqiqah adalah membelah, rambut dinamakan aqiqah dikarenakan akan dicukur dan dipotong.”[5]

Ada juga yang berpendapat bahwa kambing dinamakan aqiqah karena disembelih, yaitu terpotongnya hulqum dan mari’nya.[6]

Dalil Pensyariatan

الغلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم السابع ويحلق رأسه ويسمى

“Bayi tergadaikan dengan akikahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, kepalanya dicukur dan diberi nama.[7]

أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن الحسن والحسين عليهما السلام

Bahwasannya Nabi SAW mengaqiqahi hasan dan husain alaihimas salam.”[8]

Hukum Aqiqah

Aqiqah hukumnya sunnah muakkadah.[9] Karena aqiqah adalah mengalirkan darah bukan karena jinayah (tindak kriminal), dan bukan karena nadzar. Maka hukumnya tidak wajib, sebagaimana hukum udhiyah.[10] Berdasarkan  dari hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Bayi tergadaikan dengan akikahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, kepalanya dicukur dan diberi nama.”[11]

Hikmah Pensyariatan

Aqiqah disyariatkan karena ibadah tersebut menampakkan kegembiraan, nikmat dan tersambungnya nasab.[12]

Pihak yang Dibebani Aqiqah

Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa aqiqah dibebankan kepada ayah yang menanggung nafkah anak karena sebab ketidak mampuannya. Biaya tersebut dikeluarkan dari hartanya sendiri, bukan dari harta anak. Mereka juga berpendapat bahwa orang yang sudah baligh, tetapi belum pernah diaqiqahi, maka disunnahkan untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[13]

Mengaqiqahi Mayit

Ulama Syafi’iyah berpendapat jika bayi telah meninggal sebelum genap hari ketujuh, maka disunnahkan mengaqiqahinya, sebagaimana mengaqiqahi yang masih hidup.[14]

Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa aqiqah dimulai ketika bayi telah lahir secara sempurna. Tidak sah dilakukan sebelum kelahiran.[15] Akan tetapi disunnahkan dilakukan di hari ketujuh.[16]

Hari kelahiran dihitung termasuk ke dalam tujuh hari tersebut. Hendaknya aqiqah tidak melampaui nifas. Jika aqiqah tersebut melampaui nifas maka yang dipilih hendaknya aqiqah tersebut tidak melampaui batas menyusui. Jika melampaui maka yang dipilih hendaknya aqiqah tersebut tidak melampaui tujuh tahun. Jika melampauinya maka yang dipilih hendaknya aqiqah tersebut tidak melampaui umur baligh. Jika melampauinya maka aqiqah tersebut gugur dari selainnya dan ia memiliki pilihan untuk mengaqiqahi diri sendiri ketika dewasa.[17]

Salah seorang ulama syafiiyah berpendapat jika belum diaqiqahi di hari ketujuh, maka diaqiqahi di hari ke empat belas, jika tidak bisa, maka di hari ke dua puluh satu.[18]

Sedangkan hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa aqiqah dilakukan di hari ketujuh. Dan tidak sah dilakukan sebelumnya.

Syafiiyah berpendapat bahwa pelaksanaan aqiqah yang dibebankan kepada ayah akan gugur ketika anak telah dewasa.[19]

Ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih didahulukan, antara menyembelih hewan dan memotong rambut bayi. pendapat pertama, mencukur rambut dilaksanakan setelah penyembelihan. Sedangakan pendapat kedua, mencukur dilakukan sebelum penyembelihan.[20] Dan dimakruhkan qoza’ (memotong sebagian dan meninggalkan sebagian).

Hewan Untuk Aqiqah

Hewan yang disembelih untuk aqiqah adalah sebagaimana saat penyembelihan udhiyah, yaitu unta, sapi, dan kambing atau domba, dan tidak sah dengan hewan selain itu. Juga terkait umurnya dan selamatnya dari cacat dengan diqiyaskan kepadanya.[21]

Unta dan sapi lebih utama dari pada kambing. Ada yang berpendapat kambing lebih utama, yaitu dua ekor domba untuk bayi lelaki dan seekor domba untuk bayi perempuan.[22]

Syafiiyah berpendapat bahwa disunnahkan untuk mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua kambing, sedangkan untuk anak perempuan dengan satu kambing. Berdasarkan hadits dari aisyah, bahwasannya nabi saw memerintahkan mereka (untuk mangaqiqahi) anak lak-laki dengan dua kambing, dan untuk anak perempuan satu kambing.[23]

Akan tetapi tidak mengapa mengaqiqahi anak laki-laki dengan hanya satu kambing, sebagaiman hadits dari ibnu abbas, bahwasannya nabi saw mangaqiqahi hasan dan husain masing-masing satu kambing.[24]

Jika mengaqiqahi anak laki-laki dengan satu kambing, maka tetap dihukumi sah. Akan tetapi ketika melahirkan dua anak dan hanya menyembelih satu kambing, maka tidak dianggap sebagai aqiqah. Diperbolehkan menyembelih seekor sapi atau unta untuk tujuh anak, atau tujuh orang bersyarikat di dalam penyembelihan seekor sapi, meskipun dengan niat yang berbeda.[25]

Pembagian Daging Aqiqah

Disunnahkan untuk mengambil daging tanpa memecahkan tulang, sebagaimana rasa optimis akan keselamatan anggota badan anak yang dilahirkan.[26]

Daging tersebut dibagikan kepada  para fakir dan miskin agar barakahnya kembali kepada anak yang dilahirkan tersebut.[27]

Disunnahkan untuk tidak bersedekah dengannya dalam keadaan mentah, akan tetapi dalam keadaan dimasak menurut pendapat yang paling benar. Disunnahkan untuk memasaknya dengan rasa manis menurut pendapat yang paling benar sebagai rasa optimis manisnya akhlak anak yang dilahirkan tersebut. Ada yang berpendapat dimasak dengan rasa masam.[28]

Disunnahkan bersedekah dengan emas seberat timbangan rambut. Jika tidak dengan emas, maka dengan perak.

Doa Ketika Menyembelih

Disunnahkan bagi orang yang akan menyembelih hewan aqiqah tersebut untuk mengucapkan;

باسم الله والله أكبر اللهم لك وإليك هذه عقيقة فلان

”Dengan nama Allah yang Maha Besar, Ya Allah untukMu dan kepadaMu ini adalah aqiqahnya Fulan.”

Atau mengucapkan;

باسم الله والله أكبر اللهم منك ولك هذه عقيقة فلان

”Dengan nama Allah yang Maha Besar, Ya Allah dariMu dan untukMu ini adalah aqiqahnya Fulan.”

Dan ketika menyembelih disyaratkan berniat menyembelih untuk aqiqah.[29]

Memberi Nama yang Baik

Disunnahkan untuk memberi nama “Abdullah” dan “Abdurrahman”. Atau memberikan nama yang baik-baik. Dimakruhkan menamai dengan nama yang buruk.

Mengadzani di Telinga

Disunnahkan untuk mengumandangkan adzan di telinga kanannya dan iqamah ditelinga kirinya. Hal itu diriwayatkan dari para sahabat. Disebutkan juga bahwa rasulullah pernah mengumandangkan adzan di telinga husain ketika dilahirka fatimah.[30]

Mentahnik Bayi

Disunnahkan untuk menahnik anak yang dilahirkan tersebut dengan makanan yang manis, karena Nabi SAW mentahnik anak-anak anshar dengan kurma.[31]

 

[1] Al-Munjid fi Al-Lughah, hlm. 513

[2] Imam Taqiyuddin Abi bakr bin Muhammad Al-Husni Al-Husaini, Kifayatul Ahyar, Darul Basyair cet. 9, hlm. 635

[3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, juz 30, hlm. 276

[4] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, juz 8, Beirut: Dar Al-Fikr 1996, juz 8, hlm. 328

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] HR. Abu Daud (2838), Tirmidzi (1522), Nasa’i (VII/147)

[8] HR. Nasai (VII/164)

[9] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, juz 8, Beirut: Dar Al-Fikr 1996, juz 8, hlm. 321

[10] Ibid, hlm. 318

[11] HR. Abu Daud (2838), Tirmidzi (1522), Nasa’i (VII/147)

[12] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, juz 30, hlm. 277

[13] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, juz 30, hlm. 278

[14] Ibid, hlm. 277

[15] Ibid, hlm. 278

[16] Ibid

[17] Imam Taqiyuddin Abi bakr bin Muhammad Al-Husni Al-Husaini, Kifayatul Ahyar, Darul Basyair cet. 9, hlm. 635

[18] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, juz 8, Beirut: Dar Al-Fikr 1996, juz 8, hlm. 323

[19] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, juz 30, hlm. 279

[20] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, juz 8, Beirut: Dar Al-Fikr 1996, juz 8, hlm. 325

[21] Imam Taqiyuddin Abi bakr bin Muhammad Al-Husni Al-Husaini, Kifayatul Ahyar, Darul Basyair cet. 9, hlm. 636

[22] Ibid

[23] HR. Tirmidzi (4/97)

[24] HR. Abu Daud (2841)

[25] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, juz 8, Beirut: Dar Al-Fikr 1996, juz 8, hlm. 321

[26] Imam Taqiyuddin Abi bakr bin Muhammad Al-Husni Al-Husaini, Kifayatul Ahyar, Darul Basyair cet. 9, hlm. 636

[27] Ibid

[28] Ibid

[29] Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, juz 8, Beirut: Dar Al-Fikr 1996, juz 8, hlm. 322

[30] Imam Taqiyuddin Abi bakr bin Muhammad Al-Husni Al-Husaini, Kifayatul Ahyar, Darul Basyair cet. 9, hlm. 637

[31] Ibid, hlm. 636

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Arsip