SEKILAS INFO
: - Selasa, 23-04-2024
  • 1 bulan yang lalu / Telah di buka SEDEKAH BUKA PUASA UNTUK SANTRI Darul Fithrah, mari kita raih pahala sebanyak banyaknya salah satunya dengan memberi makan dan minum orang yg berpuasa di bulan Ramadhan yg mulia ini.
  • 1 bulan yang lalu / Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an , mari kita gunakan waktu di bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak membaca dan mentadabburi isi Al Qur’an.
  • 3 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PESANTREN AMPEL DENTA

 

Pesantren merupakan cikal bakal dari pendidikan Islam di Indonesia yang didirikan karena tuntutan dan kebutuhan jaman. Pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarluaskan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama dan dai. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berakar kuat di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[1]

Asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh walisongo abad XV-XVI di jawa. Lembaga pendidikan Islam ini telah berkembang, khususnya di Jawa selama berabad-abad.

Syaikh Maulana Malik Ibrahim dapat dikatakan sebagai peletak dasar-dasar pendidikan pesantren di Indonesia. Pesantren pada masa awal pendiriannya merupakan media untuk menyebarkan Islam dan karenanya memiliki peran besar dalam perubahan social masyarakat Indonesia.[2]

Maulana Malik Ibrahim atau lebih terkenal sebagai Sunan Gresik adalah seorang ulama kelahiran Magrib. Pada 1404 M, Maulana Malik Ibrahim singgah di desa Leran Gresik Jawa Timur setelah sebelumnya tingal selama 13 tahun di Campa. Perjalanan Maulana Malik Ibrahim dari Campa ke Jawa adalah untuk mendakwahkan agama Islam kepada para penduduknya. Di Jawa, beliau memulai hidup dengan menjual makanan murah, dan membuka praktik ketabiban gratis, sehingga banyak menyatakan masuk Islam dan berguru ilmu agama kepadanya.[3] Pengikut Maulana Malik Ibrahim semakin hari semakin bertambah sehingga rumahnya tidak sanggup menampung murid-murid yang datang untuk belajar ilmu agama Islam. Menyadari hal ini, Maulana Malik Ibrahim mulai mendirikan bangunan untuk murid-muridnya menuntut ilmu. Inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Indonesia.[4]

Meski begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Beliau mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya, sehingga Sunan Ampel dikenal sebagai pembina pesantren pertama. Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di tanah air, sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.[5]

Daerah Ampel Denta adalah hadiah dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya V kepada Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai ketua wilayah dan masyarakat yang penduduknya kebanyakan Islam yang diwujudkan dalam bentuk kebebasan menyiarkan agama Islam di suatu tempat yang bernama Ampel Denta (Surabaya). Dari Ampel Denta ini, agama Islam mulai terpencar ke segala penjuru tanah jawa, dimulai dari pesantren yang dibina oleh Sunan Ampel.[6]

Ketika sampai di daerah Ampel Denta, Raden Rahmat mendirikan masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan. Hal ini mencontoh sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad sesampainya dari Hijrah ke Madinah. Raden Rahmat mendirikan masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan didekat pelabuhan Surabaya, ditepi sungai Kalimas yang menghubungkan pelabuhan Surabaya dengan ibukota Majapahit lewat transportasi air sepanjang sungai Brantas.[7] Tempat itu sebelumnya berair dan berlumpur namun dengan kemampuan ‘ilmu geologi’ yang dimiliki Sunan Ampel dan sahabat-sahabatnya, tempat itu menjadi kering dan bisa ditempati.

Posisi tersebut sangat strategis, karena menjadi pintu gerbang keluar dan masuknya orang dari dan ke Majapahit yang waktu itu adalah kerajaan terbesar di Nusantara. Dalam waktu singkat reputasi Sunan Ampel menyebar luas ke seluruh Nusantara. Banyak anak saudagar dan putra bangsawan kerajaan berguru di pesantren Ampeldenta. Salah satu contoh santri Sunan Ampel adalah Adipati Arya Damar dari Palembang, seluruh keluarga kerajaan dan rakyat Palembang menyatakan diri masuk Islam.[8]

Meskipun belum banyak pihak istana kerajaan Majapahit yang memeluk agama Islam, tetapi Raja Majapahit Prabu Brawijaya V yang sedang berkuasa saat itu tetap memberikan izin adanya penyiaran agama Islam kepada masyarakatnya. Pemuda-pemuda dari berbagai penjuru tanah air berdatangan ke Ampel. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali, yang mana di kemudian hari dikenal dengan sebutan Walisongo atau sembilan wali yang menempa diri, sekaligus dipersiapkan untuk kader dakwah.[9]

Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Pesantren Ampel Denta pada dasarnya didukung oleh beberapa faktor. Pertama, letak desa Ampel Denta yang berada di tepi sungai dan pelabuhan Surabaya. Karena letak yang strategis di pintu gerbang masuk Majapahit itu, maka Ampel mau tidak mau harus bersinggungan langsung dengan sirkulasi perdagangan Majapahit, karena seluruh kapal dari dan menuju Majapahit mesti melewati pelabuhan Surabaya. Dan dengan letak Ampel yang menguntungkan seperti itulah Raden Rahmat (Sunan Ampel) dapat memanfaatkan misi dakwahnya kepada para bangsawan, pedagang maupun pegawai kerajaan yang melewati wilayahnya. Kedua, lembaga pendidikan tersebut mirip dengan pendidikan sebelumnya. Ketiga, lembaga pendidikan tersebut dapat diikuti oleh setiap orang tanpa memandang keturunan dan kedudukan.

[1] Hasbi Siddik, Kiprah Pesantren dalam Pembangunan Nasional. Jurnal. STAIN Sorong Papua Barat, April 2017, hlm. 126.

[2] Herman, DM. Sejarah Pesantren di Indonesia. Jurnal. STAIN Kendari 2013, hlm. 5.

[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Cet. III; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), 141.

[4] Ibid

[5] Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2007), 8.,131

[6] Peranan walisongo dalam masyarakat jawa timur pada akhir majapahit, hlm. 2.

[7] Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya, hlm. 3

[8] Ibid

[9] Nurhana Marantika, Jurnal. UIN Jogja 2007, hlm. 7.

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Arsip