Riya’ merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari demam berdarah atau aids sekalipun. Sulit membedakan ibadah jaman sekarang yang tidak bercampur riya’.
Suatu ketika, di yaumil akhir, berlangsung pengadilan terhadap tiga orang laki-laki. Yang pertama kali diadili adalah orang yang gugur sebagai syahid. Ia kemudian dipanggil oleh Allah. Kepadanya kemudian diperlihatkan amal perbuatannya. Ia pun mengakui perbuatannya ketika berperang membela agama hingga akhirnya gugur sebagai syahid.
Kemudian Allah bertanya: “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkannya (mati syahid).”
“Aku berperang demi (mendapat) ridha-Mu hingga aku gugur di medan jihad,” jawab lelaki itu.
“Kamu berdusta,” sergah Allah.
“Kamu berperang agar dikatakan pemberani dan sungguh kamu telah mendapatkannya,” sambung Allah lagi.
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya Allah memanggil orang yang kedua, yakni seorang lelaki yang tekun menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ia juga rajin membaca al-Qur’an. Seperti yang pertama, ia pun diperlihatkan amal perbuatannya. Setelah ia mengenalinya, Allah bertanya: “Apa yang telah kamu perbuat dengannya (menuntut ilmu)?”
“Saya menuntut ilmu, mengajarkannya kepada yang lain dan membaca al-Qur’an demi Engkau, ya Allah,” jawab lelaki itu.
“Kamu berdusta!” kata Allah berfirman.
“Kamu menuntut ilmu agar dibilang orang pandai dan kamu membaca al-Qur’an agar dikatakan sebagai qori yang bagus (bacaannya), dan sungguh kamu telah memperolehnya,” ungkap Allah.
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.
Berikutnya Allah mengadili orang yang ketiga yakni seorang lelaki yang dilapangkan dan dikaruniai Allah kekayaan yang melimpah. Kepadanya diperlihatkan amal perbuatannya. Iapun mengenalinya. Lalu Allah bertanya: “Apa yang kamu perbuat terhadap harta bendamu?”
Lelaki itu menjawab: “Saya tak pernah melewatkan kesempatan menafkahkan harta benda di jalan-Mu dan itu saya perbuat demi Engkau, wahai Tuhanku”.
Allah berfirman: “Kamu berdusta! Kamu tidak melakukan itu semua kecuali dengan pamrih agar kamu dibilang sebagai dermawan. Dan kamu telah mendapatkan semua yang kamu inginkan.”
Selanjutnya Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.
Niat yang Menentukan
Amal baik belum tentu bernilai baik sebelum diketahui niatnya. Bisa saja manusia memberi gelar pahlawan kepada seseorang yang memiliki keberanian dan tanggung jawab yang besar dalam membela agama dan negaranya, akan tetapi Allah yang Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Maka Allah jualah yang akan memberikan penilain-Nya tersendiri. Allah tidak menilai seseorang dari yang zhahirnya saja, tapi juga dari yang tersembunyi yaitu niat atau motivasinya.
Bisa jadi seseorang dihormati karena kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya. Tapi di sisi Allah, seorang ulama baru dianggap bernilai bila ia ikhlas dalam mencari ilmu dan tulus ketika mengajarkan dan menyebarluaskannya. Ketika ada motivasi lain, sekecil apapun, pasti terdeteksi oleh ke-Mahatahuan-Nya. Allah berfirman:
Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 284)
Demikian pula halnya dengan orang kaya yang dermawan, belum tentu kedermawanannya berkenan di hadapan Allah. Boleh jadi kemurahannya dalam memberi digerakkan oleh niat-niat tertentu yang dapat merusak pahala sadaqahnya. Orang-orang yang menerima sumbangannya tidak mengetahui niat orang tersebut, tapi Allah saw selalui memonitor gerak hati seseorang. Dia menilai tidak sekadar dari lahirnya, tapi lebih penting lagi adalah niatnya. Itulah sebabnya, niat dalam ajaran Islam menempati posisi sentral dan sangat menentukan. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan sesungguhnya tiap tiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ialah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah karena ingin memperoleh keduniaan atau untuk mengawini seorang wanita, maka hijrahnya adalah kea rah yang ditujunya tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Rasulullah di atas dilatarbelakangi oleh pengaduan seseorang yang menyampaikan bahwa di antara orang-orang yang hijrah ke Madinah menyusul hijrahnya Rasulullah saw ada seseorang yang berhijrah karena ingin mengawini seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Pada mulanya lelaki itu ingin tetap tinggal di Makkah, akan tetapi karena Ummu Qais yang hendak dinikahinya mengajukan syarat bahwa ia mau dinikahi jika lelaki itu hijrah ke Madinah, maka akhirnya sang lelaki itu terpaksa turut hijrah demi kekasihnya.
Dalam kehidupan sehari-hari ada contoh yang sederhana. Di siang hari yang panas, seorang lelaki masuk ke mesjid. Secara lahiriyah perbuatan itu sangat terpuji. Akan tetapi siapa tahu niat yang tersembunyi dalam hatinya. Bisa jadi ia masuk ke mesjid dengan niat untuk istirahat. Jika niatnya seperti itu, maka ia akan memperoleh yang diniatkannya. Ia terhindar dari sengatan matahari dan terlepas dari rasa penat. Lain halnya jika ia meniatkan untuk i’tikaf. Boleh jadi ia mendapatkan kedua-duanya, yaitu pahala sekaligus istirahat yang cukup.
Dalam kenyataannya, banyak sekali perbuatan manusia yang motivasinya campur aduk antara ikhlas dan riya’. Misalnya, orang yang menunaikan ibadah haji seringkali niatnya tidak semata-mata untuk ibadah, tapi jauh sebelum keberangkatannya mereka sudah membuat rencana untuk membeli perhiasan, makanan, pakaian dan oleh-oleh lainnya untuk disebarkan kepada kerabatnya di tanah air.
Demikian pula halnya dengan orang yang menuntut ilmu, banyak yang niatnya tidak untuk memperoleh ridha Allah, tapi agar kelak dihormati dan disanjung masyarakat sebagai orang yang berilmu. Atau agar kelak mendapat pekerjaan yang baik, pangkat dan jabatan mentereng serta berkuasa di tengah masyarakatnya.
Seseorang yang shalat malam (tahajjud) mungkin saja niatnya murni, semata-mata ingin bertaqarrub dengan Allah swt. Akan tetapi ada pula seseorang yang menjalankan shalat malam karena niat ‘daripada tidak bisa tidur’ atau karena dia sedang berjaga, daripada bengong.
Secara syar’i, ibadahnya orang yang disebutkan di atas tetap sah dan tidak batal, akan tetapi kurang afdol. Ibadahnya sah, tapi kurang sempurna karena beribadah kepada Allah menuntut adanya kemurnian niat (ikhlas) semata-mata karena Allah. Al-Qur’an menandaskan:
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 2-3)
Riya’ merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari demam berdarah atau aids sekalipun. Itulah sebabnya Rasulullah saw sangat khawatir dengan penyakit ini. Beliau takut ummatnya terjerumus pada penyakit yang beliau sebut sebagai syirik yang tersamar itu. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya yang saya takuti menimpa atas kamu ialah syirik kecil (syirkul ashghar). Para sahabat bertanya, ‘apakah yang dimaksud dengan syirik kecil itu, ya Rasulallah?’ Nabi menjawab: ‘Riya’, (yakni) ketika manusia datang untuk meminta balasan atas amal perbuatan yang mereka lakukan. Maka Tuhan berkata kepada mereka : ‘Pergilah kamu menemui orang-orang yang karena mereka kamu beramal (riya’) di dunia niscaya kamu akan sadar apakah kamu memperoleh balasan kebaikan dari mereka?”. [sumber]