MASJID MEGAH SEPI JAMAAH

   Pada hari ini kita menyaksikan banyak masjid yang dibangun dengan megah, namun sepi dari jamaah. Banyak kaum muslimin yang tidak peduli dengan sholat berjamaah, sehingga didapati ada banyak masjid yang diadzani, diiqamati dan diimami oleh satu orang.

DEVINISI HUKUM SHOLAT BERJAMAAH

   Menurut istilah syar’i, shalat jamaah adalah sholat yang dikerjakan Bersama-sama. Ketentuan minimal jumlah minimal shalat berjamaah adalah dua orang, yaitu imam dan makmum yang bersamanya. Ibnu Qudamah rahimahullah  berkata, ‘’ Ketentuan shalat berjamaah adalah dua orang atau lebih, kami tidak mendapati perselisihan dalam hal ini.” ( lihat al-Mughni : 2/408 )

   Para ulama sepakat bahwa mendirikan shalat itu wajib secara berjamaah termasuk ibadah yang paling mulia. Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang hukum sholat jamaah menjadi tiga pendapat :

   Pertama :     Fardhu ain. Artinya, shalat berjamaah adalah kewajiban bagi setiap muslim, tidak ada yang boleh meninggalkan kecuali udzur syar’i. ini adalah pendapat Atha’ al-Auza’i, Ishaq, Ahmad, Abu Tsaur , Ibnu khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban , dan Ahlul Zhahir.

   Kelompok pertama ini kemudian berbeda menjadi dua pendapat : ada yang berpendapat shalat berjamaah merupakan syarat sah dan ada yang berpendapat bukan merupakan syarat. Pendapat pertama  dipegang oleh Abu Dawud dan orang yang mengikutinya. Sementara yang lain berpendapat bahwa shalat berpendapat bahwa shalat berjamaah hanya fardhu ‘ain, dan bukan syarat sahnya shalat.

   Kedua : Fardhu Kifayah. Maknanya, jika sudah ada kaum muslimin yang melakukannya, maka jatuhlah dosa orang-orangyang tidak mengerjakannya , apabila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya, semuanya berdosa. Ini adalah pendapat yang dikuatkan dalam madzhab asy-Syafi’I, dan pendapat mayoritas Malikiyah dan Hanafiyah.

    Ketiga :  Sunnah Muakkadah. Artinya, shalatnya berjamaahnya hanyalah sunnah yang ditentukan, tidak wajib. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanafiyah. ( Lih. Kitabush Shalah wa Hukmu Tarikiha, hal 70-87, al-majmu’ : 4/183, Nailul Authar : 5/10-11, dan Shalatul Jamaah : hal. 61-72).

URGENSI SHALAT JAMAAH

   Para ulama bersepakat bahwa shalat jamaah memiliki kedudukan yang agung dalam islam. Setidaknya ada beberapa alasan kenapa shalat jamaah ini penting :

   Pertama , Allah sendiri yang memerintahkan shalat jamaah di dalamal  Qur’an.

   Allah SWT menegaskan hal di atas dalam firmanNya, “Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku.’ ( al-Baqorah : 43)

   Kedua, Saat perang berkecamuk , sholat jamaah tetap diperintahkan.

       Allah berfirman, “dan apabila kamu ditengah-tengah mereka (shahabatmu), lalu kamu berkehendak mendirikan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari kalian berdiri  ( shalat) besertamu, dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah meraka berpindah dari belakangmu(untuk menghadap musuh), dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, shalatlah meraka denganmu.” (An Nisa’: 102).

   Jika dalam perang saja shalat jamaah diperintahkan, apalagi jika dalam  kondisi aman dan tentram.

  ketiga, Rasulullah tidak memberikan rukhshah (keringanan) kepada lelaki buta yang meminta izin agar diperkenankan shalat di rumahnya. 

   Abu Hurairah menceritakan bahwa ada lelaki buta yang datang kepada Rasulullah lalu berkata “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat menuntunku menuju kemasjid.”Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjamaah, Dan agar diperbolehkan shalat dirumahnya. Beliaupun memberikan keringanan kepadanya, Tetapi Ketika lelaki tersebut hendak beranjak, beliau bertanya apakah kamu mendengar adzan ? ia memjawab, “ya” Beliau bersabda, “Penuhilah seruan adzan itu.” (HR.Muslim, hadits nomor:1518)

   Sedangkan dalam Riwayat Abu Dawud, Ibnu Ummi Maktum menjelaskan bahwa di Madinah banyak sekali binatang buas, lalu Nabi SAW bersabda, “Apabila kamu mendengar seruan adzan,” hayya alash sholah, hayya alal falah “, jika iya, penuhilah adzan tersebut,” (HR.Abu Dawud, hadist nomor: 553). Penulis ‘Aunul Ma’bud menjelaskan bahwa binatang penggangu itu berupa kalajengking dan ular, Sementara binatang buas memiliki makna sebagai serigala dan anjing. (Lih Ainul Ma’bud: 2/181)

   Lihatlah! Laki-lakli itu menpunyai beberapa udzur : dia adalah seorang buta, ia tidak memiliki seorang teman yang bisa menuntunnya ke masjid, banyak sekali binatang pengganggu dan binatang buas, Namun karna masih mendengar adzan, ia tetap diwajibkan menghadiri shalat berjamaah. Sekalipun demikian, Nabi tetap memerintakannya menjawab adzan, dan melaksanakan sholat berjamaah dimasjid. Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki udzur sama sekali, dan masih diberikan pengelihatan dan tubuh yang sehat, dan juga dalam keadaan yang aman?

   Keempat : Allah menjelaskan bahwa diantara ciri-ciri orang munafik di dalam firmanNya, “ Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia.” (an Nisa’ : 142).

   Ini dijelaskan lagi oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya dan shalat fajar. Seandainya mereka mengetahui pahala keduanya meraka pasti mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak, “ (HR. Muslim, hadist nomor: 1514)

   Artinya, orang yang meninggalkan shalat berjamaah, tanpa udzur syar’i adalah orang munafik. Inilah yang bisa kita fahami dari ayat dan hadist di atas. Maka, jika kita ingin terhindar dari sifat kemunafikan, melazimi shlalat berjamaah adalah solusinya. Sungguh, jika shalat berjamaah tidak memiliki keutamaan kecuali terhindar dari kemunafikan, tentu ia sudah cukup.

   Demikianlah, apapun pilihan kita dalam menguatkan dalam satu  pendapat dari pendapat para ulama tentang hukum shalat berjamaah diatas, kita harus menjadi penegak shalat berjamaah. Karena muslim yang baik tentunya tidak akan menyia-nyiakan berbagai pahala yang dijanjikan Allah dan Rasulullah bagi orang yang menjaga shalat berjamaahnya, dan takut terhadap ancaman yang ditunjukkan bagi orang-orang yang meninggalkan shalat jamaah tanpa udzur syar’I. Wallahu a’lam.

 Daftar Pustaka :

Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni fi Fiqh al-amam Ahmad bin Hanbal asy-syaibani (Beirut:Darul Fikr).

Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Qayyim al Jauziyah, Kitab Adh Shalah wa Hukmu Tarikiha, tahqiq : Abdullah al-Misykawi (Kairo: Maktabah al Iman )

Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar (Idarah ath-Thiba’ah al-Muniriyyah).

Muhammad Syamsul Haq al-Adzim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. II, 1415 H)

Halil bin Ghanim as-Sadlan, Shalatul Jama’ah; Hukmu wa Ahkamuha (Riyadh: Balansiayah, Cet. III, 1416 H ).