Menjadi seorang guru sering kali menanggung beban yang berat karena di mata para muridnya, ia di anggap sebagai orang yang paling tahu. Meskipun seorang guru itu telah menempuh pendidikan yang tinggi, pasti tetap akan ada saja bidang ilmu yang belum ia ketahui. Apalagi guru hanyalah seorang manusia biasa, sedangkan ilmu adalah lautan yang tak bertepi. Maka tak jarang seorang guru atau ustadz mendapat pertanyaan-pertanyaan dari murid atau jama’ahnya di luar kemampuan yang ia kuasai. Dari pertanyaaan seperti inilah ada sebagian guru yang memilih untuk menjawab pertanyaan tersebut tanpa landasan ilmu. Ia mengatakan tentang sesuatu yang sebenarnya ia tidak ketahui kebenarannya. Ia tidak mau mengakui bahwa dirinya sebenarnya belum mengetahui hal tersebut.
Di antara faktor yang menyebabkan seorang guru melakukan hal tersebut (mengatakan sesuatu tanpa landasan ilmu) adalah karena seorang guru itu menganggap bahwa jika ia tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan, maka reputasinya akan jatuh dan rasa hormat orang lain kepadanya akan menurun. Hal ini biasa terjadi pada orang yang terlalu mencintai ketenaran (popularitas) dan gila terhadap sanjungan manusia. Ia mengira apabila ia mampu menjawab segala pertanyaan yang diajukan pada dirinya, orang-orang akan semakin kagum pada dirinya. Maka hal ini termasuk dalam penyakit hati, di mana seseorang merasa ingin dipuji dan disanjung oleh orang lain.
Sok Tahu Berakibat Maut
Akibat dari perbuatan seperti ini adalah dapat mencelakai dan menyesatkan murid atau pihak yang bertanya. Sebagaimana yang terjadi pada zaman zaman Rasulullah ﷺ, dimana seorang sahabat yang sedang berhadats besar bertanya pada sahabat lainnya tentang bolehkah bertayamum sebagai pengganti mandi janabah bagi dirinya yang memiliki luka di kepalanya. Sahabat yang ditanya itu menjawab bahwa ia masih berkewajiban untuk mandi. Si penanya pun mandi dan qadarullah ia meninggal karena mandinya itu. Setelah kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ, Rasulullah ﷺ mencela apa yang dilakukan oleh sahabat yang ditanya tadi. Beliau ﷺ bersabda :
قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ
“Mereka telah membunuhnya, Sungguh Allah murka pada mereka. Kenapa mereka tidak bertanya jika mereka belum tahu? Karena obat dari ketidaktahuan adalah bertanya.”
Dalam hadits lain Rasulullah ﷺ juga menceritakan tentang gambaran para manusia di akhir zaman. Di mana di antara mereka orang-orang bodoh memberi fatwa tanpa adanya ilmu sehingga menyebabkan manusia sesat dan menyesatkan.
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari manusia secara sekaligus, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, hingga ketika tidak lagi tersisa seorang alim, manusia menjadikan manusia yang bodoh sebagai pemimpin. Maka merekapun ditanya dan berfatwa tanpa landasan ilmu, lalu merekapun sesat dan menyesatkan.”
Padahal Allah memerintahkan kepada kita untuk bertanya kepada ahlinya tentang hal-hal yang tidak kita ketahui.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Allah juga menegaskan bahwa segala hal yang kita katakan atau lakukan akan dimintai pertanggungjawaban.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (36)
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Mengenai ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menukil perkataan Qatadah dalam kitab tafsirnya, yang maknanya, “Jangan mengatakan ‘aku telah melihat’ padahal kamu belum melihatnya, dan jangan mengatakan ‘aku telah mendengar’ padahal kamu belum mendengarnya dan jangan mengatakan ‘aku mengetahuinya’ padahal kamu belum mengetahuinya! Karena sesungguhnya Allah akan menanyaimu tentang itu semua.”
Katakan ‘Aku Tidak Tahu’
Lalu bagaimana seorang guru merespon pertanyaan yang ia belum ketahui jawabannya? Maka kisah Imam Malik semoga bisa menjadi contoh bagi para guru dalam bersikap. Dikisahkan oleh Imam Ibnu Abdi Al-Barr dalam kitab Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa fadhlih bahwasannya ada seorang dari daerah yang jauh datang ke Madinah untuk menanyakan beberapa hal. Ia juga membawa peranyaan-pertanyaan dari penduduk negerinya yang dititipkan padanya untuk ditanyakan kepada Imam Malik. Ternyata, dari sebagian banyak pertanyaan yang ia lontarkan, Imam Malik hanya menjawab, ‘Aku tidak tahu’. Si penanya pun heran dan kebingungan, maka ia pun bertanya, “Lalu apa yang akan aku katakan kepada penduduk negeriku ketika aku pulang?” Imam Malik menjawab, “sampaikan pada mereka bahwa Malik mengatakan, ‘Aku tidak tahu.’”
Imam Malik pernah mengatakan, “Seyogyanya bagi para ahli ilmu untuk membiasakan diri dengan perkataan ‘aku tidak tahu’ terhadap perkara yang tidak ia kuasai, maka mudah-mudahan dengan itu akan membawa kebaikan baginya.”
Ibnu Jama’ah juga mewasiatkan kepada para pengajar, “dan ketahuliah bahwa perkataan ‘aku tidak tahu’ bagi orang yang ditanya tidaklah menurunkan martabatnya sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian orang bodoh. Akan tetapi itu akan menaikkan derajatnya karena hal itu menunjukkan agungnya kedudukannya, baiknya agamanya, ketakwaannya pada Rabbnya, kebersihan hatinya dan kesempurnaan pengetahuannya.
Kemudian beliau menambahkan, “dan sesungguhnya orang yang enggan mengatakan ‘aku tidak tahu’ terhadap perkara yang tidak ia ketahui termasuk tanda lemahnya agama dan sedikitnya pengetahuan, karena ia takut akan jatuhnya wibawa di hadapan para hadirin. Dan ini adalah sebuah kebodohan dan minimnya agama.”
Para malaikat yang muliapun juga memilih untuk mengatakan ‘Allahu a’lam’ (Allah lebih mengetahui) atau ‘Kami tidak tahu’ daripada menjawab tanpa ilmu. Selain kisah Imam Malik ini, juga banyak kisah lain dari para ulama salaf yang memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang memang tidak mereka ketahui. Hal ini menunjukkan sifat wara’dan kejujuran mereka dalam menyampaikan ilmu dan bukti keikhlasan mereka dalam mengajar. Karena mereka tidak khawatir dianggap bodoh di mata manusia.
Jangan Takut Dianggap Bodoh
Solusi untuk menghindari sikap ‘bicara tanpa ilmu’ ini adalah dengan menyadari akibat akan perbuatannya. Setidaknya ada dua akibat yang akan ia tanggung:
1. Bahwa apa yang ia katakan tanpa ilmu itu pasti memiliki konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan.Akan semakin berat apabila apa yang ia sampaikan tanpa ilmu itu adalah hal yang salah kemudian diikuti oleh banyak orang. Tentu saja ini sangat berpotensi menjadi Dosa Jariyah. Na’udzubillah.
2. Kemudian, jika kelak apa yang seorang guru katakan tanpa ilmu itu ketahuan salah, maka reputasinya akan benar-benar jatuh dan kepercayaan manusia kepadanya akan pudar. Tidak menutup kemungkinan juga akan disematkan label ‘pendusta’ kepadanya, sehingga manusia tidak mau lagi mengambil ilmu darinya.
Perkataan “saya tidak tahu” bukanlah aib atau cela bagi orang yang memang tidak tahu. Bahkan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya sangat diharamkan oleh Allah. Mengada-ada juga bukan akhlak seorang mukmin. Apalagi hanya demi gengsi pada manusia agar tidak digelari orang bodoh. Maka sifat jujur untuk mengakui keadaan diri perlu ditanamkan pada setiap orang terutama mereka yang ingin berkiprah di dunia guru. Keikhlasan juga harus menancap kuat pada diri seorang guru, supaya ia tidak mengharap mendapat pujian dan tidak takut dianggap ‘kurang berilmu’ di hadapan manusia. Wallahu a’lam bish shawab.