Seorang guru memang memiliki kewajiban untuk menyampaikan ilmu kepada para murid. Seorang guru juga –biasanya- lebih tua, lebih berpengalaman dan lebih dahulu menempuh jenjang-jenjang pendidikan daripada murid-muridnya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam beberapa hal, murid lebih tau daripada sang guru. Karena memang ilmu itu luas, sedangkan otak manusia itu terbatas. Seseorang dengan gelar pendidikan tinggipun, pasti masih ada banyak hal yang tidak ia ketahui. Sedangkan murid, mungkin wawasannya maish sedikit, tapi bisa jadi yang sedikit itu adalah hal yang tidak diketahui oleh sang guru.
Di sinilah kedewasaan seorang guru diuji. Ketika apa yang disampaikan murid ternyata lebih tepat dan lebih benar daripada apa yang ia sampaikan. Seorang guru yang memiliki sifat sombong dalam hatinya, ia akan merasa gengsi untuk menerima kebenaran tersebut. Karena ia merasa ia lebih pintar daripada muridnya. Ia berfikir, ‘mana mungkin orang pintar dikoreksi oleh orang bodoh.’ Alhasil, ia akan mencari-cari alasan untuk tetap membenarkan pendapatnya. Atau ia menerima pendapat muridnya dengan berat hati. Ia tidak berterima kasih karena sudah dibenarkan, juga tidak memberi pujian pada muridnya. Atau lebih parah lagi, ia akan mencari kesempatan untuk menciptakan suatu momen yang mana ia terlihat pintar sedangkan murid yang pernah mengoreksinya tadi terpojokkan dan terlihat bodoh.
Belajar dari kasus Iblis
Kasus seperti di atas persis seperti kasus yang dialami Iblis ketika ia diperintah untuk sujud pada Nabi Adam. Dari kesombongan akan membuat seseorang merasa lebih baik dari yang lain. Kemudian dari situ akan muncul sikap menolak kebenaran ketika kebenaran itu berpihak pada orang yang ia anggap lebih rendah. Iblis merasa lebih baik dari Adam, maka ia menolak untuk bersujud kepadanya. Seorang guru merasa lebih pintar dari murid, maka ia menolak mengakui pendapat murid meskipun pendapat muridnya adalah yang benar. Maka apa yang akan terjadi setelahnya bisa diketahui dari kisah Adam dan Iblis.
Sombong akan melahirkan hasad. Iblis menjadi hasad pada Adam dan berusaha untuk menjerumuskannya. Maka sangat berpotensi sekali hasad akan muncul pada diri guru yang enggan menerima kritik atau pendapat dari muridnya. Dengan rasa hasad ini, ia akan berusaha untuk menjatuhkan muridnya. Ia akan memandang muridnya dengan pandangan benci dan dengki. Na’udzubillah min dzalik.
Tawadhu’ adalah kunci
Lantas bagaimana seorang guru harus bersikap ketika ia mendapati bahwa pendapat murid lebih tepat daripada apa yang ia sampaikan? Maka kunci pertama yang harus dimiliki guru untuk menghadapi kasus seperti ini adalah bersikap tawadhu’. Hendaknya seorang guru tidak merasa menjadi ‘si paling’ ketika mengajar. Hendaknya ia juga meniatkan sebelum masuk kelas bahwa ia di sana bukan hanya untuk ‘menyampaikan ilmu’, tapi juga untuk istifadah atau mengambil ilmu. Bukan untuk mengajar, akan tetapi untuk sama-sama belajar.
Kemudian, ketika seorang guru mendapat koreksi dari si murid, hendaknya ia mengucapkan terima kasih padanya dan memberinya pujian. Karena sama saja ia telah diberi ilmu baru yang ia tidak tahu sebelumnya. Memberi pujian kepada murid juga akan memberi dampak positif bagi guru maupun murid. Dengan memuji murid, rasa dengki akan tersingkir dari hati sang guru. Karena salah satu latihan untuk menghilangkan rasa hasad atau dengki adalah dengan memuji orang yang didengki di depan banyak orang. Mungkin ini akan terasa berat bagi sebagian guru, tapi harus tetap dipaksa dan dibiasakan. Karena hasad adalah akhlak tercela yang tidak layak dipelihara oleh seorang muslim, apalagi jika ia seorang guru.
Sedangkan bagi murid, pujian akan membuatnya menjadi lebih semangat dalam belajar. Ia juga akan semakin respek dan cinta pada gurunya. Selain itu, murid yang lain juga akan termotivasi untuk ikut aktif dalam proses pembelajaran. Tapi perlu dicatat, bahwa pujian yang berlebihan juga tidak baik dampaknya bagi kedua belah pihak.
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menulis salah satu sifat yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu maupun pengajar. Beliau berpesan, “hendaknya ia tidak enggan untuk belajar dari orang yang lebih rendah darinya, baik dari segi usia, nasab, popularitas, agama atau dalam bidang ilmu lainnya. Tetapi hendaknya ia rakus untuk mendapatkan ilmu dari siapapun, bahkan jika itu dari orang yang lebih rendah darinya dari segala sisi.” Wallahu a’lam bish shawab.