Apa itu Big Data?
Jika dulu teknologi informasi atau IT masih tergolong baru. Saat ini IT sudah dikenal luas dan dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Big Data adalah level berikutnya dari IT. Dengan IT, manusia bisa mendapatkan informasi dengan lebih cepat, dengan dukungan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih. Ternyata sejalan dengan kecanggihan IT, data-data bermunculan dan semakin banyak. Dan karena volumenya yang besar dan tersebar di mana saja, dimana ada pengguna IT, maka disebutlah Big Data. Big Data bisa berisi apa saja. Dia adalah database dari apapun yang bisa anda dapatkan dari jutaan pengguna telepon pintar, internet, media sosial dan banyak produk IT lainnya. Sampai saat ini, belum ada istilah resmi untuk Big Data, karena masing-masing perusahaan bisa jadi punya nama sendiri.
Waze, contoh lain dari penerapan data mining dan Big Data yang dimiliki Google –yang bernama Bigtable–. Waze dan Google Map dimiliki perusahaan yang sama. Mereka mendapatkan data kepadatan (kemacetan) lalu lintas dari para pengguna aplikasi tersebut secara real time. Mengumpulkannya dan mengolahnya menjadi sebuah layanan yang memberikan informasi kondisi lalu lintas yang sejatinya didapatkan dari ponsel pintar penggunanya.
Ketika IT hanya soal memberikan informasi secara cepat baik secara tulisan atau multimedia, sifatnya satu arah dan terkadang tidak melihat siapa yang disasar/ditarget, maka Big Data adalah bagaimana memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna ponsel pintar misalnya. Ibarat robot, IT kaku dan tidak bisa memberikan alternatif, informasi satu arah, tetapi dengan Big Data layanan yang manusiawi mungkin untuk diberikan, karena minat dan data kebutuhan pengguna akan sangat diperhatikan/dipertimbangkan.
Data Mining, Tambang Emas di Masa Depan
Google, Facebook dan media sosial adalah contoh beberapa perusahaan yang memiliki Big Data dari penggunanya. Belum lagi Amazon, yang fokus memanfaatkan data perilaku pembelinya untuk menawarkan buku dan produk lainnya yang sesuai dengan minatnya. Google mengumpulkan data dari penggunanya, atau istilahnya data mining, untuk kemudian dimanfaatkna/dijual ke pemasang iklan dengan audience yang sangat tertarget. Demikian juga dengan Facebook, para pemasang iklan di FB Ads, bisa menentukan untuk siapakah iklannya bisa ditampilkan. Rinciannya begitu detail, dari lokasi pengguna, umur, jenis kelamin, hingga minat dan kebiasaan belanjanya. Luar biasa bukan? Bahkan data penduduk di catatan sipil kalah detail dengan Big Data yang mereka miliki.
Konon aplikasi GoJek dan semacamnya yang sedang booming akhir-akhir ini di ibukota dan kota besar lainnya juga sama. Mereka melakukan data mining, mengumpulkan informasi dan perilaku penggunanya. Dan mungkin di masa depan, ketika data penggunanya sudah sangat lengkap, mereka bisa memanfaatkannya untuk apapun. Bisa dijual ke pemasang iklan, seperti yang dilakukan Google dan Facebook atau lainnya. Ketika menggunakan jasa GoJek untuk memesan makanan tertentu, maka akan tercatat minatnya dalam hal kuliner.
Singkatnya, dengan data mining maka siapapun yang mampu mengolah Big Data ini, bisa memanfaatkannya untuk apapun. Menjualnya ke pihak lain, atau memanfaatkan sendiri data tersebut. Yang jelas, data mining ini diperlukan untuk mengumpulkan Big Data yang tercecer di mana-mana. Setelah terkumpul, maka sisanya hanya masalah kreativitas saja.
Big Data untuk Dakwah? Bisakah?
Pihak Darul Fithrah belum menemukan hingga saat ini, kemungkinan pemanfaatan Big Data untuk dakwah. Bahkan mungkin saat ini, baru sebatas pemanfaatan teknologi informasi atau IT. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Sedangkan Big Data yang sudah mulai diterapkan oleh perusahaan raksasa seperti Google dan Facebook sudah pasti mereka manfaatkan untuk keuntungan dunia semata. Lalu bagaimana dengan muslim? Bisakah kita memanfaatkan ponsel pintar yang penggunanya sudah sangat banyak ini? Melakukan data mining dan membuat pemetaan demografi dari sisi umur, jenis kelamin, untuk kemudian memberikan manfaat kepada mereka dengan ilmu yang sesuai dengan minatnya misalnya. Atau
Ini hanya contoh sederhana saja, seandainya kita memiliki Big Data, yang isinya data berupa umur, jenis kelamin, lokasi pengguna, maka kita akan dengan mudah menarik mereka yang berada di lokasi sekitar Islamic Center untuk ikut berpartisipasi dalam sebuah acara tabligh akbar misalnya. Lalu untuk mereka yang memiliki minat dalam hal fiqh, ketika ada sebuah kajian fiqh mereka bisa kita tarik untuk mengikutinya. Atau mungkin, kita mengumpulkan berbagai pertanyaan seputar fiqh untuk kemudian dikaji bersama oleh para ustadz yang kompeten dan kemudian hal tersebut bisa jadi sebuah database fiqh yang kekinian. Seandainya saja kita tahu tentang level pemahaman ummat secara mendalam dalam bentuk Big Data. Lalu kita bisa mengolahnya untuk mengupgrade mereka.
Contoh-contoh di atas akan terlalu sederhana, karena Big Data, analisa dan pemanfaatannya hanya dibatasi oleh kreativitas manusia. Jika mereka yang mengejar dunia, sudah beralih dan melirik Big Data, maka sudah saatnya muslim ikut memanfaatkannya untuk kepentingan dakwah.
Teknologi Hanya Alat
Teknologi data yang menjadi penerus teknologi informasi ini, perlu disikapi dengan bijak. Jangan sampai lupa bahwa teknologi hanya alat. Tujuan kita berdakwah jangan sampai lalai karena disibukkan dengan alat atau medianya. Untuk itulah Pesantren IT Darul Fithrah, menekankan betul ke para santri untuk tetap fokus dengan Islam, hafalan Al Qur’an tetap tidak boleh ditinggalkan, wajib menguasai bahasa Arab dan Inggris untuk mempermudah mempelajari ilmu. Maka ketika berhadapan dengan internet, teknologi informasi, teknologi data, mereka akan tetap mawas diri dan sadar bahwa semua itu hanya alat dan jangan sampai mereka yang diperalat. Dan inilah yang menjadi ciri pesantren IT di Sukoharjo ini.