PENGERTIAN RUKHSHAH DAN PEMBAGIANNYA
Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan :
الحكم الثابت على خلاف الدليل لعذر
Hukuman yang berlaku yang menyalahi dalil yang ada karena ada udzur.
Dari pengertian di atas dapat dipahami adanya tiga syarat dari rukshah, yaitu :
Pertama. Rukshah (keringanan), hendaknya berdasarkan dalil Alqur’an dan Sunnah; baik secara tekstual maupun kontekstual melalui Qiyas (analogis) atau Ijtihad; sehingga bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.
Kedua. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti: wajib, sunnah, haram dan mubah; semuanya bisa terjadi rukshah di dalamnya.
Ketiga. Adanya udzur, baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.
HIKMAH ADANYA RUKHSHAH
Adanya rukhshah (keringanan), merupakan bagian dari kasih sayang Allah ta’ala. Kepada hamba-Nya, dan menjadi bukti bahwa Islam merupakan agama yang mudah dan tidak memberatkan, sebagaimana firman-Nya:
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghedaki kesukaran bagimu. (QS Al baqarah :185)
Juga firman Allah ta’ala :
Allah hendak memberikan keringanan kapadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS An Nisa: 28)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Raulullah bersabda :
ان الدين يسر ولا يشد الدين احد الا غلبه
Sesunggungnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih – lebihan dalam agama ini, kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya). (HR Bukhari)
PEMBAGIAN RUKHSHAH
Ditinjau dari segi bentuknya, rukhshah dibagi menjadi tujuh macam, yaitu:
Pertama. Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban, seperti: boleh meninggalkan perbuatan kewajiban, atau sunnah karena meninggalkan perbuatan wajib atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya. Atau apabila melakukan perbuatan tersebut dapat membahayakan dirinya; misalnya orang yang sedang sakit, atau seseorang yang sedang melakukan perjalanan boleh meninggalkan puasa Ramadhan, sebagaimana firman Allah SWT, “Jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari–hari yang lain. (QS Al Baqarah: 184)
Rukhshah juga diberikan kepada wanita untuk meninggalkan shalat, yaitu ketika sedang haid atau nifas, tidak berpuasa ketika hamil atau menyusui.
Ibnu Abbas berkata: Diberikan rukhshah kepada orang tua jompo untuk tidak berpuasa dan menggantikannya dengan memberi makan orang miskin setiap hari dan tidak wajib qadha (mengulangi) puasanya. Begitu juga kepada wanita yang hamil dan menyusui, kalau dia mengkhawatirkan akan dirinya, maka boleh tidak berpuasa dan (menggatinya dengan) memberikan makan seorang miskin setiap hari selama tidak berpuasa.
Ibnu Abbas juga berkata : Apabila perempuan hamil khawatir atas kesehatan dirinya atau ibu menyusui yang khawatir atas anaknya, maka mereka (berdua) dibolehkan untuk berbuka (tidak berpuasa) dan (menggatikannya dengan) memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak mengqadha puasanya.
Pada kitab yang sama, Syaikh Nashiruddin Al Albani menyebutkan riwayat Nafi’, bahwa putri Abdullah bin Umar menikah dengan seorang quraisy. Dalam keadaan hamil, ia berpuasa Ramadhan dan mengalami kehausan. Abdullah bin Umar memerintahkan untuk berbuka dan menyuruhnya untuk memberi makan seorang miskin.
Contoh rukhshah yang lain, misalnya seperti boleh meninggalkan shalat Jum’at karena udzur musafir atau sakit, tetapi menggantikannya dengan sholat Dhuhur.
Dari Thariq bin Shihab, Rosulullah bersabda :
الجمعة حق واجب على كل مسلم فى جماعة الا اربعة عبد مملوك اوامرأة أو صبي أو مريض
Shalat Jum’at wajib bagi setiap muslim dengan berjama’ah, kesuali empat orang : hamba sahaya, perempuan, anak – anak dan orang sakit. ( HR Abu Dawud; Baihaqi – Shahih ).
Dari Abdullah bin Umar , Rasulullah berkata :
ليس على المسافر جمعة
Tidak wajib sholat Jum’at bagi orang yang musafir
Rukhshah tidak sholat Jum’at juga diberikan kepada orang yang sedang menjaga sesuatu yang sangat vital. Salah seorang yang bertugas di bagian sentral informasi, yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan kebutuhan orang banyak. Hal ini pernah bertanya kepada Lajnah Daimah di Saudi Arabia, apakah ia dibolehkan tidak ikut shalat berjama’ah atau shalat Jum’at?
Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut : Hukum asal melakukan shalat Jum’at bagi setiap muslim yang berakal dan muqim adalah wajib, berdasarkan firman Allah yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman. Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at maka, bersegeralah kamu kepada mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS Al Jumu’ah:9).
Dan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim dari Ibn Mas’ud r.a., bahwa Nabi SAW bersabda terhadap kaum yang tidak melakukan shalat Jum’at :
لقد هممت أن آمر رجلا يصلى بالناس ثم أحرق على رجال يتخلفون عن الجمعة بيوتهم
Sesungguhnya aku ingin menyuruh seseorang untuk menggantikanku menjadi imam shalat bersama orang-orang, kemudian aku akan membakar rumah-rumah orang-orang yang tertinggal shalat Jum’at.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, keduanya mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar :
Hendaknya kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat Jum’at atau Allah benar-benar akan mengunci hati mereka, kemudian mereka benar-benar termasuk golongan orang yang lengah.
Ulama telah juga telah sepakat, jika terdapat udzur syar’i bagi orang yang wajib Jum’at, misalnya sebagai penanggungjawab langsung pekerjaan yang berhubungan dengan dengan keamanan umat dan menjaga kesejahteraan mereka, yang diharuskan tetap dilaksanakan pada waktu shalat Jum’at juga, seperti petugas lalu lintas atau petugas sentral keamanan dan semacamnya, maka mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah, berdasarkan keumuman firman Allah “Maka bertaqwalah kami kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS Ath Thaghabun:16).
Rasulullah SAW juga bersabda,
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فافعلوا منه ماستطعتم
Apa yang aku larang untuk melakukannya, maka tinggalkanlah. Dan apa yang perintahkan melakukannya, maka lakukanlah sesuai kesanggupan kamu
Hanya saja, hal itu tidak menggugurkan kewajiban shalat Dhuhur; dan harus tetap melaksanakan pada waktunya.
Kedua. Rukshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti: mengurangi jumlah raka’at shalat yang empat pada waktu qashar; atau mengurangi waktunya pada shalat jama’ karena musafir. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqhasar shalatmu” (QS An Nisa: 101).
Rukhshah menjama’ shalat, juga diberikan karena ada udzur mendesak, sebagai mana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW pernah menjama’ shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah bukan karena takut atau bukan karena sebagai musafir.
Abu Zubair berkata, “Saya bertanya kepada Sa’id, mengapa Rasulullah SAW berbuat demikian?” Sa’id menjawab, “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana yang anda tanyakan, dan beliau menjawab, Rasulullah SAW tidak ingin memberatkan umatnya.”
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim, V/215, ketika mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir, bila ada kebutuhan yang sangat mendesak. Dengan tidak menjadikan yang demikian itu sebagai tradisi (kebiasaan).”
Pendapat demikian, juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyab, juga Ishaq Al Marwazi dan Ibnu Mundzir; berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga Beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau karena musafir.”
Ketiga. Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban yang lain yang lebih ringan, seperti: mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air, atau karena tidak bisa, atau karena karena tidak boleh menggunakan air dikarenakan sakit dan lainnya; mengganti shalat berdiri dengan duduk, berbaring atau isyarat; mengganti puasa wajib dengan memberikan makan kepada fakir miskin bagi orang tua yang tidak bisa berpuasa, atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuhnya.
Keempat. Rukshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti: penangguhan shalat Dhuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir, atau menangguhkan pelaksanaan puasa ke luar bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir.
Kelima. Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, seperti: membayar zakat fithrah beberapa hari sebelum hari raya, padahal wajibnya adalah pada akhir Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar RA mengeluarkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya. (HR Bukhari). Atau seperti mendahulukan pelaksanaan shalat Ashar pada waktu Dhuhur ketika jama’ taqdim.
Keenam. Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban, seperti: merubah cara melaksanakan shalat ketika sakit atau dalam keadaan perang. Allah SAW berfirman:
Yang artinya:
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah mendirikan segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu raka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh), dan hendaklah dating golongan yang kedua yang belum shalat, lalu hendaklah mereka shalat denganmu. Dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata …… (QS An Nisa:102).
Ketujuh. Ruhkshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram, dan meninggalkan perbuatan yang wajib, karena adanya udzur syar’i, seperti: bolehnya memakan bangkai, darah dan daging babi, yang asalnya haram. Allah SWT berfirman.:
إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أ هل به لغيرالله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Baqarah: 173).
Melakukan jual beli salam dengan memberikan harga (pemabayaran) terlebih dahulu dan barangnya menyusul dengan syarat ditentukan jumlah, sifat dan tempat penerimaannya, juga termasuk rukhshah. Misalnya, seorang petani menerima uang harga gabahnya yang belum dipanen karena dia membutuhkan kepada uang. Hal seperti ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ibnu Abbas RA :
Rasulullah tiba di Madinah dan mereka sedang melakukan jual beli salam pada buah-buahan setahun atau dua tahun. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang melakukan jual beli salam pada buah-buahan, maka hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan waktu yang jelas. (HR Bukhari dan Muslim).
Padahal hukum asal dalam jual beli adalah at taqabudh. Yaitu serh terima barang dan harganya, dan tidak boleh ada yang ditunda.
Ada juga rukhshah yang diberikan karena adanya udzur keterpaksaan, misalnya bolehnya mengucapkan kata-kata yang bisa mengakibatkan kafir; dengan syarat hatinya masih beriman. Allah berfirman yang artinya, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (QS An Nahl: 106).