SEKILAS INFO
: - Minggu, 22-12-2024
  • 4 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 11 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
PENYEBAB-PENYEBAB BID’AH | Part III

Suatu perbuatan atau amalan tercipta karena terdapat sebab yang muncul. Begitupula perbuatan bid’ah memiliki sebab dan tendensi mengapa perbuatan tersebut dilakukan seseorang. Beberapa diantaranya akan kami paparkan pada pembahasan ini.

  1. Kebodohan. Inilah penyebab paling mendominasi mengapa seseorang melakukan perbuatan bid’ah. Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”1

Ibnu Katsir berkata:

Menurut Al-Aufi, janganlah kamu menuduh seseorang dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan bagimu tentangnya. Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan, makna yang dimaksud ialah kesaksian palsu.

Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kamu mengatakan bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya; atau kamu katakan bahwa kamu mendengarnya, padahal kamu tidak mendengarnya; atau kamu katakan bahwa kamu mengetahuinya, padahal kamu tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu tentang hal tersebut secara keseluruhan.

Kesimpulan pendapat mereka dapat dikatakan bahwa Allah ta’ala melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi.

Dalam ayat lain disebutkan oleh firman-Nya:

اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. (Al-Hujurat: 12)

Di dalam hadis disebutkan seperti berikut:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ؛ فَإِنَّ الظَّنَّ أكذبُ الْحَدِيثِ

Jauhilah oleh kalian prasangka. Karena sesungguhnya pra­sangka itu adalah pembicaraan yang paling dusta.

Di dalam kitab Sunnah Imam Abu Daud di sebutkan hadis berikut:

بِئْسَ مطيةُ الرَّجُلِ: زَعَمُوا

Seburuk-buruk sumber yang dijadikan pegangan oleh sesorang ialah yang berdasarkan prasangka.

Di dalam hadis yang lain disebutkan:

إِنَّ أَفَرَى الفِرَى أَنْ يُرِي عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَيَا

Sesungguhnya kedustaan yang paling berat ialah bila sese­orang mengemukakan kesaksian terhadap hal yang tidak di­saksikannya.

Di dalam hadis shahih disebutkan:

مَنْ تَحَلَّمَ حُلْمًا كُلف يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعيرتين، وَلَيْسَ بِعَاقِدٍ

Barang siapa yang berpura-pura melihat sesuatu dalam mimpi­nya, maka kelak di hari kiamat ia akan dibebani untuk memintal dua biji buah gandum, padahal dia tidak dapat melakukannya.

Firman Allah ta’ala: semuanya itu. (Al-Isra: 36)

Maksudnya semua anggota tubuh, antara lain pendengaran, penglihatan, dan hati, akan dimintai pertanggungjawabannya. (Al-Isra: 36)

Seseorang hamba akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dilakukan oleh anggota-anggota tubuhnya itu pada hari kiamat, dan semua anggota tubuhnya akan ditanyai tentang apa yang dilakukan oleh pemilik­nya. Pemakaian kata ula-ika yang di tujukan kepada pendengaran, pengli­hatan, dan hali diperbolehkan dalam bahasa Arab. Seperti- apa yang dikatakan oleh salah seorang penyairnya:

ذُمَّ المَنَازلَ بَعْدَ مَنزلة اللِّوَى … وَالْعَيْش بَعْدَ أولئِكَ الْأَيَّامِ …

Tiada tempat tinggal yang enak sesudah tempat tinggal di Liwa, dan tiada kehidupan yang enak sesudah hari-hari itu (yang penuh dengan kenangan manis).2

Allah berfirman dalam ayat lain:

قًلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”3

Adapun hadits yang menyatakan hal tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin al-‘Ash r.a dia berkata bahwasannya Nabi SAW bersabda:

Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dari manusia sekaligus (dalam waktu yang bersamaan). Melainkan Allah akan mematikan para ulama sehingga ilmu itu diangkatan bersama dengan kematian mereka. Maka, tersisalah diantara manusia orang-orang bodol yang berfatwa dengan tanpa ilmu. Mereka sesat lagi menyesatkan.”4

      2. Mengikuti Hawa Nafsu

Hawa nafsu adalah bagian dari sebab yang berpotensi menjadikan seseorang berbuat bid’ah. Membahas hawa nafsu, Allah berfirman dalam kitabnya,

يا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”5

Ibnu Katsir berkata: Ini merupakan perintah dari Allah ta’ala kepada para penguasa agar mereka memutuskan perkara di antara manusia dengan kebenaran yang diturunkan dari sisi-Nya, dan janganlah mereka menyimpang darinya, yang berakibat mereka akan sesat dari jalan Allah. Allah ta’ala telah mengancam orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan yang melupakan hari perhitungan„yaitu dengan ancaman yang tegas dan azab yang keras.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Janah, telah menceritakan kepadaku Ibrahim alias Abu Zar’ah yang pandai membaca kitab-kitab terdahulu, bahwa Al-Walid ibnu Abdul Malik pernah bertanya kepadanya, “Apakah khalifah juga mendapat hisab? Kuajukan pertanyaan ini kepadamu karena kamu telah membaca kitab-kitab terdahulu, juga telah membaca Al-Qur’an serta memahaminya.” Aku (Abu Zar’ah) menjawab, “Wahai Amirul Mu-minin, saya hanya berpesan kepadamu, hendaknyalah engkau berdoa semoga berada di dalam keamanan dari Allah.” Kukatakan lagi, “Hai Amirul Mu-minin, apakah engkau lebih mulia bagi Allah ataukah Daud a.s.? Sesungguhnya Allah telah menghimpunkan baginya antara kenabian dan kekhalifahan (kekuasaan), tetapi sekalipun demikian Allah mengancamnya melalui firman-Nya,” sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an; Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka Bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Shad: 26) hingga akhir hayat.

Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka akan mendapat azab yang berat, karena melupakan hari perhitungan. (Shad: 26) Ini merupakan ungkapan yang mengandung taqdim dan ta-khir, menurut urutannya adalah berbunyi seperti berikut: لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ يَوْمَ الْحِسَابِ بِمَا نَسُوا., yang artinya bagi mereka azab yang berat pada hari perhitungan nanti disebabkan mereka lupa daratan.

As-Saddi mengatakan bahwa makna ayat ialah bagi mereka azab yang berat disebabkan mereka meninggalkan amal perbuatan untuk bekal mereka di hari perhitungan. Pendapat yang kedua ini lebih serasi dengan makna lahiriah ayat.6

     3. Bergantung Kepada Syubhat

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”7

Ibnu Katsir Menafsirkan: Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa mutasyabihat dalam hal kebenarannya tidak memerlukan adanya pengertian lain dan takwil yang terkandung di balik makna lahiriahnya; Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan ayat-ayat mutasyabihat ini, sebagaimana Dia menguji mereka dengan masalah halal dan haram. Pada garis besarnya ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dibelokkan kepada pengertian yang batil dan tidak boleh diselewengkan dari perkara yang hak.

Karena itulah Allah ta’ala berfirman: Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan. (Ali Imran: 7), Yakni kesesatan dan menyimpang dari perkara yang hak, menyukai perkara yang batil.

Maka mereka mengikuti ayat yang mutasyabihat darinya. (Ali Imran: 7). Yaitu sesungguhnya mereka hanya mau mengambil yang mutasyabihnya saja, karena dengan yang mutasyabih itu memungkinkan bagi mereka untuk membelokkannya sesuai dengan tujuan-tujuan mereka yang rusak, lalu mereka mengartikannya dengan pengertian tersebut, mengingat lafaznya mirip dengan pengertian mereka yang menyimpang. Terhadap yang muhkam, maka tidak ada jalan bagi mereka untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan padanya, karena yang muhkam merupakan hujah yang mematahkan alasan mereka dan dapat membungkam mereka.

Karena itulah Allah ta’ala berfirman: untuk menimbulkan fitnah. (Ali Imran: 7). Yaitu untuk menyesatkan para pengikut mereka dengan cara memakai Al-Qur’an sebagai hujah mereka untuk mengelabui para pengikutnya terhadap bid’ah yang mereka lakukan. Padahal kenyataannya hal tersebut merupakan hujah yang menghantam mereka dan sama sekali bukan hujah yang mereka peralat. Perihalnya sama dengan masalah seandainya orang-orang Nasrani mengemukakan hujahnya ‘Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa Isa adalah roh (ciptaan) Allah dan kalimat (perintah)-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan roh dari Allah’, tetapi mereka mengesampingkan firman-Nya yang mengatakan: Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian). (Az-Zukhruf: 59)8

Sesungguhnya misal (penciptaan) isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Ali Imran: 59)

Dan ayat-ayat lainnya yang muhkam lagi jelas menunjukkan bahwa Isa adalah salah seorang dari makhluk Allah, dan merupakan seorang hamba serta seorang rasul di antara rasul-rasul Allah.

Firman Allah ta’ala: dan untuk mencari-cari takwilnya. (Ali Imran: 7)

Yakni penyimpangannya menurut apa yang mereka kehendaki. Muqatil ibnu Hayyan dan As-Saddi mengatakan bahwa mereka ingin mencari tahu apa yang bakal terjadi dan bagaimana akibat dari ber-bagai hal melalui Al-Qur’an.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. (Ali Imran: 7) sampai dengan firman-Nya: orang-orang yang berakal. (Ali Imran: 7) Lalu beliau Saw. bersabda: Apabila kalian melihat orang-orang yang berbantah-bantahan mengenainya (mutasyabih), maka merekalah orang-orang yang dimaksudkan oleh Allah. Karena itu, hati-hatilah kalian terhadap mereka.9

Demikianlah bunyi hadis ini menurut apa yang terdapat di dalam Musnad Imam Ahmad melalui riwayat Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah r.a. tanpa ada seorang perawi pun di antara keduanya (antara Ibnu Abu Mulaikah dengan Siti Aisyah).

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Ismail ibnu Ulayyah dan Abdul Wahhab As-Saqafi, keduanya dari Ayyub dengan lafaz yang sama. Muhammad ibnu Yahya Al-Abdi meriwayatkan pula di dalam kitab musnadnya melalui Abdul Wahhab As-Saqafi dengan lafaz yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang, dari Ayyub. Ibnu Hibban meriwayatkan pula di dalam kitab sahihnya melalui hadis Ayyub dengan lafaz yang sama.

Abu Bakar ibnul Munzir meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui dua jalur, yaitu dari Abun Nu’man, Muhammad ibnul Fadl As-Sudusi yang laqab-nya (julukannya) adalah Arim, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama. Ayyub (yaitu Abu Amir Al-Kharraz) dan lain-lainnya mengikutinya, dari Ibnu Abu Mulaikah; lalu Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Bandar, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Abu Amir Al-Kharraz, kemudian ia menuturkan hadis ini.10

Sa’id ibnu Mansur meriwayatkannya pula di dalam kitab sunnah-nya, dari Hammad ibnu Yahya, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Aisyah. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Rauh ibnul Qasim dan Nafi’ ibnu Umar Al-Jumahi; keduanya dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Aisyah.

Nafi’ mengatakan dalam riwayatnya dari Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Siti Aisyah pernah menceritakan kepadaku, lalu ia (Ibnu Abu Mulaikah) menuturkan hadis ini.

Imam Bukhari meriwayatkan pula hadis ini dalam tafsir ayat ini, sedangkan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam Kitabul Qadar dari kitab sahihnya, dan Abu Daud di dalam kitab sunnahnya; ketiganya meriwayatkan hadis ini dari Al-Aqnabi, dari Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi dari Ibnu Abu Mulaikah dari Al-Qasim ibnu Muhammad dari Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat. (Ali Imran: 7), sampai dengan firman-Nya: Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal. (Ali Imran: 7)11

Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah Saw. bersabda:

فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ

Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih darinya, maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan oleh Allah; maka hati-hatilah kalian terhadap mereka.

Demikianlah menurut lafadz Imam Bukhari.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi melalui Bandar, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Yazid ibnu Ibrahim dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Turmuzi menuturkan bahwa Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi sendirilah yang menyebut Al-Qasim dalam sanad ini, sedangkan menurut yang lainnya yang bukan hanya seorang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Mulaikah langsung dari Siti Aisyah, tanpa menyebut Al-Qasim. Demikian komentar Imam Turmuzi.12

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Walid At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi dan Hammad ibnu Abu Mulaikah, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya. (Ali Imran: 7)13

Maka Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya:

إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ

Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari Al-Qur’an, maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan oleh Allah (dalam ayat ini); maka hati-hatilah (waspadalah) kalian terhadap mereka.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Hammad ibnu Salamah, dari Abdur Rahman ibnul Qasim, dari ayah-nya, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai ayat ini, yaitu firman-Nya: maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya untuk menimbulkan fitnah. (Ali Imran: 7)

Kemudian beliau Saw. bersabda:

Allah telah memperingatkan kalian. Maka apabila kalian melihat mereka, waspadalah kalian terhadap mereka.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Abu Galib yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah menceritakan hadis berikut dari Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya: Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya. (Ali Imran: 7) bahwa mereka adalah golongan Khawarij. Juga firman-Nya: Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula muka yang menjadi hitam muram. (Ali Imran: 106). Mereka (yang mukanya menjadi hitam muram) adalah golongan Khawarij.14

Karena sesungguhnya mula-mula bid’ah yang terjadi dalam permulaan masa Islam ialah fitnah Khawarij. Pada mulanya mereka muncul disebabkan masalah duniawi, yaitu ketika Nabi Saw. membagi-bagi hasil ganimah Perang Hunain. Dalam akal mereka yang tidak sehat seakan-akan mereka melihat bahwa Nabi Saw. tidak berlaku adil dalam pembagian ganimah. Lalu mereka mengejutkan Nabi Saw. dengan suatu ucapan yang tidak pantas. Maka seseorang dari mereka (Khawarij) yang dikenal dengan julukan “Zul Khuwaisirah” (si pinggang kecil, semoga Allah merobek pinggangnya) berkata, “Berlaku adillah engkau, karena sesungguhnya engkau tidak adil.” Lalu Rasulullah Saw. menjawab:

Sesungguhnya kecewa dan merugilah aku jika aku tidak adil. Allah mempercayakan aku untuk penduduk bumi, maka mengapa engkau tidak percaya kepadaku?

Ketika lelaki itu pergi, Umar ibnul Khattab —menurut riwayat yang lain Khalid ibnul Walid— meminta izin kepada Nabi Saw. untuk membunuh lelaki yang mengatakan demikian itu. Tetapi Nabi Saw. bersabda:

Biarkanlah dia, sesungguhnya kelak akan muncul dari golongan lelaki ini suatu kaum yang seseorang di antara kalian memandang kecil salatnya bila dibandingkan dengan salat mereka, dan bacaannya dengan bacaan mereka. Mereka menembus agama sebagaimana anak panah menembus sasarannya. Maka dimana pun kalian jumpai mereka, perangilah mereka, karena sesungguhnya bagi orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala.

Mereka baru muncul dalam masa Khalifah Ali ibnu Abu Talib r.a.: dan ia memerangi mereka di Nahrawan. Kemudian bercabanglah dari mereka berbagai kabilah dan puak serta berbagai aliran dan sekte yang cukup banyak.15 Lalu muncullah aliran Qadariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan aliran-aliran bid’ah lainnya yang jauh sebelum itu telah diberitakan oleh Nabi Saw. dalam salah satu sabdanya:

Umat ini kelak akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka yang satu golongan itu, ya Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab, “Orang-orang yang berpegang kepada tuntunanku dan tuntunan para sahabatku.”

Hadis diketengahkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya dengan tambahan ini.

Al-Hafiz Abu Ya’la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Musa, telah menceritakan kepada kami Amr Ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir, dari ayahnya, dari Qatadah, dari Al-Hasan ibnu Jundub ibnu Abdullah; telah disampaikan kepadanya sebuah hadis dari Huzaifah atau dia mendengarnya langsung dari Huzaifah, dari Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah menuturkan hal berikut: Sesungguhnya di dalam umatku terdapat suatu kaum, mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang sangat lancar seperti menebar anak panah, mereka menakwilkannya bukan dengan takwil yang sebenarnya.16

     4. Bersandar Kepada Akal Saja

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”17

Ibnu Katsir berkata: Al-Aufi telah meriwayatkan dari ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin. (Al-Ahzab: 36), hingga akhir ayat. Pada mulanya Rasulullah Saw. pergi untuk melamar buat pelayan laki-lakinya yang bernama Zaid ibnu Harisah. Maka beliau masuk ke dalam rumah Zainab binti Jahsy Al-Asadiyyah r.a., dan beliau Saw. langsung melamarnya buat Zaid. Tetapi Zainab binti Jahsy menjawab, “Aku tidak mau menikah dengannya.” Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak, bahkan kamu harus menikah dengannya.” Zainab binti Jahsy berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau mengatur diriku?” Ketika keduanya sedang berbincang-bincang mengenai hal tersebut, Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. (Al-Ahzab: 36), hingga akhir ayat. Akhirnya Zainab binti Jahsy bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau rela menikahkan dia denganku?” Rasulullah Saw. menjawab, “Ya.” Zainab berkata, “Kalau demikian, saya tidak akan menentang perintah Rasulullah Saw. Saya rela dinikahkan dengannya.”18

Ibnu Lahi’ah telah meriwayatkan dari Abu Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. melamar Zainab binti Jahsy untuk Zaid ibnu Harisah r.a., tetapi Zainab menolak dinikahkan dengannya dan mengatakan, “Saya berketurunan lebih baik daripada dia, sedangkan Zainab adalah seorang wanita yang keras. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin. (Al-Ahzab: 36), hingga akhir ayat.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Zainab binti Jahsy r.a. ketika dilamar oleh Rasulullah Saw. untuk menjadi istri maulanya yang bernama Zaid ibnu Harisah r.a. Lalu Zainab menolak lamarannya, tetapi pada akhirnya menerima lamaran itu.19

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayat ini, diturunkan berkenaan dengan Ummu Kalsum binti Uqbah ibnu Abu Mu’it r.a. Dia adalah seorang wanita yang mula-mula berhijrah, yakni sesudah Perjanjian Hudaibiyyah. Lalu ia menyerahkan dirinya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda, “Aku terima penyerahan dirinya.” Lalu Nabi Saw. mengawinkannya dengan Zaid ibnu Harisah r.a. Yakni —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— kisah ini terjadi sesudah Zaid ibnu Harisah bercerai dengan Zainab binti Jahsy. Maka Zainab dan saudara lelakinya marah seraya berkata, “Sesungguhnya kami menghendaki diri Rasulullah Saw., tetapi ternyata beliau mengawinkan kami dengan bekas budaknya.” Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. (Al-Ahzab: 36), hingga akhir ayat.20

     5. Taqlid Dan Ta’ashshub

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”21

Ibnu Katsir menafsirkan firman Allah ta’ala, “Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir yang musyrik itu, ‘Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dan tinggalkanlah kesesatan dan kebodohan yang kalian lakukan itu!’ Mereka menjawab pertanyaan tersebut, ‘Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami’,” yakni menyembah berhala dan tandingan-tandingan Allah. Maka Allah membantah mereka melalui firman-Nya: Apakah (mereka mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? (Al-Baqarah: 170) Artinya, apakah mereka tetap akan mengikuti jejak nenek moyang-nya, sekalipun nenek moyang mereka tidak mengerti apa pun dan tidak pula mendapat hidayah?

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang-orang Yahudi yang diajak oleh Rasulullah Saw. untuk memeluk Islam, lalu mereka menjawab bahwa mereka hanya mau pengikuti apa yang mereka dapati nenek moyang mereka melakukannya. Lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini. Allah membuat suatu perumpamaan perihal mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk. (An-Nahl: 60).22

     6. Berbaur Dengan Orang Buruk Dan Duduk Bersama Dengan Mereka

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”23

Ibnu Katsir berkata: Firman Allah ta’ala, “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami”. (Al-An’am: 68), Yakni mendustakan dan memperolok-olokkannya.

Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” (Al-An’am: 68), Yakni sehingga pembicaraan mereka beralih kepada hal yang lain yang bukan kedustaan mereka.

Dan jika setan menjadikan kamu lupa.” (Al-An’am: 68), Makna yang dimaksud ialah tiap-tiap orang dari kalangan umat ini dilarang duduk dengan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, yaitu mereka yang mengubah ayat-ayat Allah dan menakwiIkannya bukan dengan takwil yang semestinya. Jika seseorang duduk bersama mereka karena lupa:

Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat.” (Al-An’am: 68), Maksudnya, sesudah kamu ingat akan larangan ini. Karena itu, di dalam sebuah hadis disebutkan:

رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Dimaafkan dari umatku (perbuatan) keliru, lupa, dan hal yang dipaksakan kepada mereka.

As-Saddi telah meriwayatkan dari Abu Malik dan Sa’id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: Dan jika setan menjadikan kamu lupa. (Al-An’am: 68) Artinya, apabila kamu lupa, lalu kamu ingat. maka janganlah kamu duduk (Al-An’am: 68) Yakni bersama mereka.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan. Ayat inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala yang mengatakan:

وَقَدْ نزلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka. (An-Nisa: 140)

Dengan kata lain, jika kalian tetap duduk bersama mereka dan kalian setuju akan pembicaraan tersebut, berarti kalian sama dengan mereka dalam perbuatannya.24

     7. Diamnya Ulama Dan Tertutupnya Ilmu

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.”25

     8. Menyerupai Orang Kafir Dan Mengikuti Mereka

Hal tersebut adalah perbuatan yang sangat mempengaruhi terjadinya perbuatan bid’ah dikalangan umat muslim. Sebagimana yang disampaikan oleh Rasulullah dalam haditsnya.

Dari Abi Waqid al-Laitsi r.a berkata. Kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain, dan kami memperbaharui janji dengan orang-orang kafir yang selamat tatkala fathu makkah. Setelah itu kami melewati suatu pohon lantas kami berkata kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah, jadikan bagi kami sesuatu yang menggantung sebagaimana mereka juga memiliki sesuatu yang menggantung. Orang-orang kafir punya pohon bidara yang mereka beri’tikaf disekitaranya, mereka menggantungkan senjata mereka. Mereka menyebutkan dzata anwath (sesuatu yang menggantung). Ketika kami telah berkata sepserti itu kepada Nabi SAW, beliau bersabda: “Allah MahaBesar dan kalian katakan hal itu. Demi Dzat yang jiwaku berada ditangannya, sebagaimana yang dikatakan bani Israil kepada Musa: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. Sungguh kalian telah berbuat dosa atas jalan orang-orang sebelum kalian”.

Hadits ini jelas menjelaskan bahwa menyerupai orang kafir sebagaimana yang dialami bani Israil adalah perbuatan yang buruk. Itulah yang diingatkan oleh Rasulullah kepada para shahabat ketika ingin menjadikan suatu pohon sebagai tempat bergantung selain Allah. Beginilah mayoritas kaum muslimin mengikuti cara orang kafir dalam melakukan perbuatan bid’ah dan kesyirikan. hal ini juga diperjelas dengan hadits Abu Said al-Khudri r.a dari Nabi SAW bersabda: “Sungguh kelak kalian akan mengikuti ajaran orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai jikalau mereka masuk ke lubang dabb, sungguh kalaian akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka orang Yahudi dan Nashrani?”, beliau bersabda: “Lantas siapa lagi?”26

     9. Bersandar Kepada Hadits Dhaif Dan Maudhu’

Banyak dari pelaku bid’ah sangat bersandar kepada hadits-hadits lemah untuk mengabsahkan perbuatan mereka, serta berbohong atas nama Rasulullah. Mereka juga menolak hadits shahih yang menyelisihi perbuatan bid’ah mereka. Akhirnya mereka hancur atas perbuatan mereka sendiri.27

     10. Bersikap Berlebihan

Ini adalah sebab utama seseorang menjadi syirik. Karena selama 10 abad setelah meninggalnya nabi Adam, manusia semua bertauhid kepada Allah. Sampai Allah jadikan manusia bergantung kepada orang-orang shalih yang Ia utus. Manusia akhirnya bersikap berlebihan kepada mereka sampai mereka menyembah orang-orang shalih tersebut. Maka Allah utus Nabi Nuh kepada mereka untuk menyerukan tauhid dan mengikuti utusan Allah SAW.28

Sifat ghuluw (berlebihan) bisa diindikasikan kepada beberapa macam. Seperti ghuluw terhadap seseorang, seperti mengagung-agungkan para imam dan wali, mengangkat derajat mereka berlebihan, sampai taraf mereka akan menyembahnya. Contoh lain adalah ghuluw dalam agama seperti menambah-nambah syariat Allah, atau terlalu keras dalam memvonis kafir kepada orang yang bukan haq-Nya. Ghuluw pada hakikatnya adalah melampaui batas dalam memuji sesuatu atau berlebihan dalam menhardik seseorag kepada yang bukan haknya.29 Allah telah mengingatkan ahli kitab tentang sikap berlebihan sebagaimana yang difirmankan-Nya,

Wahai ahli Kitab janganlah kalian berbuat ghuluw (berlebihan) dalam agama kalian.”30

Nabi juga mengingatkan sebaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,belilau bersabda: “Jauhi dari kalian sikap ghuluw dalam beragama. Karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah hancur akibat mereka berlebihan dalam agama.”31 Maka jelas bahwa sikap ghuluw adalah penyebab terjadinya kesyirikan, perbuatan bid’ah, dan mengikuti hawa nafsu.32

1 QS. Al-Isra’: 36

2 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 5, hlm: 74-75

3 QS. Al-A’raf: 33

4 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Damaskus: Daru Thuqin Najah, 1422 H), vol: 1, hlm: 31, no: 100; Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daru Ihya’i at-Turats al-Arabi, 1431 H), vol: 4, hlm: 2058, no: 2673

5 QS. Saad: 26

6 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 7, hlm: 62-63

7 QS. Ali Imran: 7

8 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 8

9 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 8

10 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 8

11 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 8

12 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 8

13 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 8

14 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 9

15 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 9

16 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 9

17 QS. Al-Ahzab: 36

18 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 6, hlm: 421

19 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 6, hlm: 422

20 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 6, hlm: 422

21 QS. Al-Baqarah: 170

22 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 1, hlm: 480

23 QS. Al-An’am: 68

24 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 3, hlm: 278

25 QS. Al-Baqarah: 174

26 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Damaskus: Daru Thuqin Najah, 1422 H), vol: 4, hlm: 169, no: 3456; Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daru Ihya’i at-Turats al-Arabi, 1431 H), vol: 4, hlm: 2054, no: 2669

27 Ibnu Taimiyah, Fatawa Ibnu Taimiyah, (Madinah: Majma Muluk Fahd, 1416 H/ 1995 M), vol: 22, hlm: 361-363

28 Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, 1/106

29 Ibnu Taimiyah, Iqtidha’u as-Shirat al-Mustaqim, (Beirut: Daru Alimul Kutub, 1419 H/ 1999 M) vol: 1, hlm: 328

30 QS. An-Nisa: 171

31 Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Muassasah ar-Risalah, 1421 H/ 2001 M), vol: 5, hlm: 298, no: 3248

32 Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Nuur as-Sunnah wa Dzulumatu al-Bid’ah fii Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, (Riyadh: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathiniyyah, 1420H/ 1999 M), hlm: 49-65

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

PENGUNJUNG