SEKILAS INFO
: - Jumat, 27-12-2024
  • 4 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 11 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
PENYALURAN ZAKAT | Part III

Penyaluran Zakat

Badan amil zakat resmi yang telah diakui oleh negara melalui undang-undang zakat sering menginvestasikan sebagian harta zakat dalam bentuk modal usaha dan hanya memberikan keuntungan dari usaha tersebut kepada para fakir-miskin mustahik zakat. Karena pengelolaan ini jelas menunda pembagian zakat terhadap yang berhak, dan bila pengelolanya bukan seorang mustahik dan ternyata usahanya mengalami kerugian, atau pengelolanya pihak yang tidak amanah, tentunya harta zakat hilang dan merugikan para fakir miskin.[1]

Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam hal ini: Pendapat pertama: Investasi harta zakat hukumnya boleh. Pendapat ini merupakan keputusan Majma’ Al Fiqh Al-Islami (divisi fikih OKI), keputusan No. 15 (3/3) tahun 1986, yang berbunyi, “Secara prinsip, harta zakat boleh dikembangkan dalam bentuk usaha yang berakhir dengan kepemilikan usaha tersebut untuk mustahik zakat, atau dikelola oleh pihak lembaga amil zakat yang bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat, dengan syarat bahwa harta zakat yang diinvestasikan merupakan sisa dari harta zakat yang telah dibagikan untuk menutupi kebutuhan pokok para mustahik dan juga dengan syarat ada jaminan dari pihak pengelola.”[2]

Di antara dalil pendapat ini bahwa pengembangan harta zakat sudah dikenal sejak masa Nabi SAW dan masa Khulafaurrasyidin dimana hewan-hewan ternak yang dikumpulkan dari zakat ditempatkan di salah satu padang rumput lalu ditunjuk orang untuk menggembalakannya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ‘Uraynah,

Sekelompok orang dari bani ‘Ukal atau Uraynah datang ke Madinah (menyatakan keislamannya), lalu mereka terserang wabah penyakit di kota Madinah, maka Nabi memerintahkan agar unta zakat yang memiliki susu banyak untuk diperah, lalu mereka minum air kencing beserta air susu unta“.[3]

Pendapat mereka juga dikuatkan dengan hadits Rasulullah SAW, “Barang siapa mengampu harta anak yatim maka perdagangkanlah dan jangan dibiarkan habis karena zakat.” Dan di hadits lain disebutkan, “Berdaganglah pada harta yatim atau pada harta anak-anak yatim jangan dihilangkan atau jangan dihabiskan karena zakat.[4]

Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa memperdagangkan harta anak yatim adalah dianjurkan jika perdagangan itu untuk kemaslahatan si yatim. Para mustaḥiq zakat dikiyaskan dengan anak yatim, yang mana tasarruf Imam terhadap rakyat adalah tergantung pada kemaslahatan, sehingga menjaga kemaslahatan fakir dan para mustahiq merupakan tanggung jawab besar bagi waliyul amri atau pemerintah. Kedudukan mereka adalah seperti wali yatim bagi rakyatnya. Jika kemaslahatan mustahiq bisa direalisasikan dengan jalan menunda pendistribusian zakat dengan diproduktifkan demi kemaslahatan umum, maka hal ini sesungguhnya merupakan hakekat dari kemaslahatan itu sendiri.[5]

Pendapat kedua: Investasi harta zakat hukumnya tidak dibolehkan. Pendapat ini merupakan keputusan Al Majma’ Al Fiqhi Al-Islami (divisi fikih Rabithah Alam Islami), dalam daurah ke XV, tahun 1998, yang berbunyi, “Zakat wajib dikeluarkan dalam waktu secepat mungkin, diberikan kepada mustahik yang ada pada saat zakat dikeluarkan, yang sifat mereka telah disebutkan Allah dalam firman-Nya, ‘Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin’. (At Taubah: 60). Oleh karena itu harta zakat tidak boleh diinvestasikan oleh sebuah lembaga untuk kepentingan salah satu mustahik. Karena tindakan ini melanggar aturan syariat, yaitu zakat wajib diserahkan secepat mungkin kepada mustahiknya dan investasi dapat mengakibatkan hilangnya harta zakat yang menjadi hak para mustahiknya dan dapat menyengsarakan mereka.[6]

Seringkali dengan dalih pemberdayaan umat, harta zakat seringkali tidak diserahkan kepada mustahik, tetapi dijadilan modal usaha dimana para mustahik diikutkan dalam usaha itu.

Seandainya dana itu bukan zakat, maka upaya untuk pemberdayaan seperti itu tentu sangat baik. Ibaratnya, kita tidak memberi orang miskin itu ikan, tetapi kita memberi kail untuk mencari ikan. Hanya saja masalahnya ini adalah harta zakat, dimana konsepnya memang pemberian ikan dan bukan pemberian kail. Sejatinya, ikan itu memang harus diberikan kepada fakir miskin agar segera dimakannya untuk mengganjal perutnya yang lapar.[7]

Adapun niat mulia untuk memberdayakan umat lewat berbagai macam jenis usaha, tentu ada sumber pendanaannya tersendiri, tetapi yang pasti harus di luar harta zakat. Intinya dari larangannya adalah bahwa zakat itu memang harus diserahkan kepada para mustahiknya, sehingga terjadi perpindahan kepemilikan dari pemberi kepada penerima. Yang mana, jika amil zakat kemudian menahan harta itu lalu diinvestasikan dalam berbagai jenis usaha perekonomian, tentu menjadi sesuatu yang menyalahi prinsip dasar dari kriteria harta zakat.[8]

Kesimpulan

Berargumen melihat kepada maqashid, banyak lembaga zakat yang menginvestasikan dana zakat sebelum disalurkan kepada mustahiq-nya. Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehannya. Namun, penulis memilih pendapat kedua yang tidak memperbolehkan menginvestasikan harta zakat beralasan karena tidak dibolehkannya menunda-nunda pembagian harta zakat dan karena masih banyak sekali dana selain zakat yang dapat digunakan untuk investasi. Pendapat penulis sebagaimana pendapat Dr. Erwandi Tarmidzi dan Ahmad Sarwat, Lc.

[1] Dr. Erwandi Tarmidzi, MA., Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bogor: P.T. Berkat Mulia Insani, hlm. 47

[2] Dikutip dari Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmidzi hlm. 47

[3] HR. Bukhari

[4] Maktabah Syamilah, Sunan Baihaqiy al-Kubra, Bab Tijarah al-Waṣi bi Mal alYatim aw Iqradhuhu, juz VI hlm. 2

[5] Dr. H. Moh. Thoriquddin, Lc., M.Hi, Pengelolaan Zakat Produktif Perspektif Maqasid Al-Syari’ah Ibnu ‘Asyur, Malang: UIN Maliki Press, Cet. Pertama, 2014, hlm. 108

[6] Dikutip dari Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmidzi hlm. 48

[7] Ahmad Sarwat, Lc., Seri Fiqih Kehidupan 4; Zakat, Jakarta: DU Publishing, Cet. Pertama,  2011, hlm. 414

[8] Ibid.

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

PENGUNJUNG