SEKILAS INFO
: - Jumat, 27-12-2024
  • 4 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 11 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
PESANTREN SEBAGAI BASIS KADERISASI SUNAN AMPEL

 

Sederetan tokoh yang menyandang gelar Pahlawan yang berjasa dalam proses perjuangan melawan penjajah banyak bermunculan dari figur para kyai-kyai Pesantren. Di antaranya adalah; Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Hasyim Asyari, Kyai Ahmad Dahlan dalam tokoh-tokoh lainnya. Fakta sejarah ini semakin menguatkan argumentasi bahwa pesantren di Indonesia tidak bisa dianggap sebelah mata, karena lembaga pendidikan klasik tersebut telah berkontribusi besar dalam pembentukan bangsa Indonesia.[1]

Dalam catatan sejarah, pondok pesantren dirintis oleh Walisongo yang salah satunya adalah sunan Ampel. Pesantren Ampel Denta yang dikembangkan oleh Raden Rahmat dalam waktu singkat telah menjadi pesantren yang besar, karena berbagai santri berdatangan dari berbagai penjuru untuk menuntut ilmu agama di sana. Perkembangan pesat pesantren Ampel pada saat itu dapat dimengerti, karena Raden Rahmat tidak pernah membatasi seseorang untuk menuntut ilmu agama darinya, siapapun orangnya tanpa dipertimbangkan asal keturunananya dapat menuntut ilmu di pesantren Ampel. Sementara letak Ampel Denta yang di tepi sungai dan dekat pelabuhan Surabaya, amat memungkinkan cepatnya berita perkembangan Ampel ke daerah pedalaman maupun keluar Jawa.[2]

Usaha Sunan Ampel dalam penyebar Islam lebih banyak berperan sebagai pendidik kader Islam. Sunan Ampel telah melahirkan kader-kader penerus perkembangan agama Islam di Nusantara. Penyebaran agama Islam dilakukan oleh penerus-penerus Sunan Ampel, sehingga Sunan Ampel diberi julukan sebagai bapak para wali. Kegiatan Sunan Ampel dalam melahirkan para kader dakwah Islam dapat mempercepat proses Islamisasi di Nusantara. Melalui jasa Sunan Ampel dan para kadernya, Islam berkembang di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16.[3]

Sebagai orang yang memiliki wawasan yg luas dan mendalam tentang prospek dakwah Islam, Raden Rahmat melihat pentingnya upaya melebarkan sayap di bidang dakwah untuk menyebarkan Islam secara khusus bagi masyarakat di pedalaman yang belum mengetahui sama sekali ajaran Islam. Oleh sebab itu, raden Rahmat melihat kemungkinan terbaik adalah dengan mendidik kader-kader ulama yang siap berdakwah di daerah pedalaman jawa.

Secara kebetulan pada saat baru merintis pengkaderan ulama, telah datang dari berbagai negeri orang-orang Islam yang sudah memiliki pengetahuan di biadang agama. Para maulana yang datang itu oleh Raden Rahmat diterima dengan baik dan dibina bersama para santri dan kadernya. Sehingga pada saat itu, Pasantren Ampel Denta siap menyebarkan para ulama untuk memperluas dakwah Islam, di mana salah satu sisi strategi dari penyebaran para ulama itu adalah keberlangsungan dakwah Islam seandainya Ampel dihancurkan oleh Majapahit.[4]

Untuk menyiarkan dakwahnya, Raden Rahmat mengambil kebijaksanaan dengan cara membagi tugas kepada kader-kadernya sesuai dengan bidang dan keahliannya menurut tradisi setempat:

  1. Salah satu kader pesantren yang menonjol adalah Raden paku. Beliau lebih dikenal dengan nama Sunan Giri. Beliau yang berdakwah di daerah Gresik dan sekitarnya.

Raden Paku ahli dalam bidang kemasyaraatan, tatanegara, yang pengaruh kebijaksanaannya tidak kecil terhadap jalannya pemerintahan yang dipegang oleh raja Islam pada waktu dahulu. Beliau juga sebagai seniman Islam yang menciptakan gending asradana dan pacung, yang mengandung nilai-nilai ajaran Islam.

Raden paku mendirikan pesantrennya di Giri. Karena tempat itu merupakan tanah tinggi atau gunung, maka dinamakan Giri. Raden paku yang mendirikan pesantren di Giri itu dinamakan Sunan Giri. Kemudian tempat itu dinamakan pula Giri Kedathon, karena pada suatu masa, tempat itu menjadi sebuah keraton atau kerajaan .

Dengan berdirinya pondok pesantren di kedaton, orang-orang berduyun-duyun pergi ke Giri untuk menunut ilmu agama Islam. Dengan demikian, agama Islam tersebar dengan luas, sekaligus Giri manjadi tempat pengajaran Islam yang teramai di jawa timur waktu itu. Karena murid-murid Sunan Giri bukan berasal dari jawa saja, malainkan dari berbaga daerah atau pulau-pulau di luar jawa, misalnya; Madura, Lombo, Makasar (Ujung Pandang), Hitu (Ambon), maka setelah banyak ilmunya para santri itu kemudian dikirim kembali ke daerahnya masing-masing untuk menyiarkan agama Islam yang telah didapat. Dengan demikian Giri menjadi mercusuar agama Islam saat itu.[5]

  1. Santri dari ampel yang menonjol di samping Raden Paku adalah Makdum Ibrahim, putra beliau sendiri yang terkenal dengan nama Sunan Bonang, yang berdakwah di daerah sekitar Tuban. Beliau ahli masyarakat dan pencipta gending dorma dengan memasukkan unsur ajaran Islam ke dalamnya.

Maulana makdum Ibrahim, semasa hidupnya menyebaran agama Islam di daerah jawa timur, terutama di daerah Tuban dan sekitarnya. Sebagaimana ayahnya, Sunan Bonang juga mendirikan pondok pesantren di daerah Tuban untuk mendidik serta menyarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. Sunan Bonang memberikan pengajaran Islam dengan memberikan pengaruh Islam ke kalangan bangsawan dari Keraton Majapahit, serta menggunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi murid-muridnya.[6]

  1. Kader lain Sunan Ampel adalah Syarifuddin. Beliau adalah putra Raden Rahmat, yang juga dijuluki Sunan Drajat. Penyebaran dakwahnya di daerah Sedayu dan sek Di sana beliau mendirikan sebuah masjid yang menjadi pusat kegiatan dakwahnya. Jiwa sosialnya sangat menonjol. Karena itu, penduduk mengakuinya sebagai sosiawan Islam, karena sering menganjurkan kepada masyarakat tentang pentingnya tolong menolong di antara sesama manusia seperti dalam ajaran Islam. Untuk dakwahnya, beliau memakai gending pangkur.

Sunan Drajat selalu mengajarkan kepada santrinya agar memelihara perutnya, makan minum sekadar yang diperlukan bagi kesehataan tubuh dan rohani, tanpa berlebihan. Makan minum tidak sembarangan makan minum, tetapi yang suci dan halal agar menjadi zat-zat darah yang bersih serta kejernihan dalam berfikir. Sunan Drajat berhasil mengetuk hati orang-orang kaya agar mau mengeluaran zakat dan infaknya dengan cara yang tepat sesuai dengan atauran syariat Islam. Selanjutnya infak zakat tersebut disalurkan kepada para mustahiq dengan tujuan berusaha menanggulangi kemelaratan jasmani dan rohani.[7]

  1. Raden Fatah. Sunan Ampel menyuruh Raden Fatah berhijrah ke hutan Bintara, membuka hutan itu dan membuat perkampungan atau kota baru, lalu mengimami masyarakat yang baru terbentuk nanti. Lebih lanjut Bintara ini berkembang menjadi Demak, yang merupakan markas dan basis perjuangan Islam pada masa lebih lanjut.[8]
  2. Sayyid Ya’qub atau yang lebih dikenal sebagai Syaikh Wali Lanang di kirim ke Blambangan untuk mengislamkan Prabu Satmudha. Sedangkan Khalifah Kusen (Husain) ke Madura untuk mengislamkan Arya Lembupeteng, dan Iain-lain.[9]
  3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) di tempatkan di Daha dengan gelar Pangeran Anyakrawati.
  4. Raden Mahmud (dalam cerita Babad disebut Syekh Mahmud) ditempatkan di sepanjang Kahuripan dengan gelar Pangeran Kahuripan.
  5. Syaikh Maulana Ishak ditempatkan di Pasuruan dan mengawini Rarasatari, putri Bupati Pasuruan yang tak lama kemudian pindah ke Pandan Arang.
  6. Raden Husin (Anak Arya Damar) ditempatkan di Ibukota Majapahit.
  7. Usman Haji ditempatkan di Ngudung-Matahun dengan gelar Pangeran Ngudung.
  8. Syekh Suta Maharaja tetap ditempatkan di Pajang.[10]

Dari pembagian wilayah tersebut, kiranya dapat membantu tersiarnya agama Islam ke segala penjuru. Dan Raden Rahmat sebagai mufti atau kepala para Walisongo lebih mengutamakan musyawarah dalam memutuskan sesuatu.

Pesantren kemudian melahirkan banyak pahlawan yang berjasa dalam proses perjuangan melawan penjajah. Diantaranya adalah; Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Hasyim Asyari, Kyai Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh lainnya. Fakta sejarah ini semakin menguatkan argumentasi bahwa pesantren di Indonesia tidak bisa dianggap sebelah mata, karena lembaga pendidikan klasik tersebut telah berkontribusi besar dalam pembentukan bangsa Indonesia.

Pesantren sebagai basis intelektual Islam di Indonesia semakin nyata memainkan peranan dalam membentuk wajah Islam di Indonesia. Sosok-sosok seperti Syaikh Nawawi Banten, Mbah Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari, dan ulama-ulama lainnya adalah tokoh-tokoh penghujung abad 20 dari kalangan pesantren yang telah memoles wajah Islam di Indonesia.[11]

Setelah Indonesia merdeka, pesantren banyak menyumbangkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia, di antaranya adalah Mukti Ali yang dahulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, M. Natsir, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai Presidan Indonesia yang keempat.[12]

[1] Saiful Mujab, MA. Memahami Tradisi Spiritualitas Pesantren. Jurnal. Kediri: STAIN Kediri 2017, hlm. 2

[2] Peranan walisongo dalam masyarakat jawa timur pada akhir majapahit, hlm.10

[3] Vina Dwi Widyawati , Peranan Sunan Ampel Dalam Penyebaran Agama Islam di Surabaya Tahun 1443-1481. Skripsi. Universitas Jember 2014, hlm. 8.

[4] Peranan walisongo dalam masyarakat jawa timur pada akhir majapahit, hlm. 53-54.

[5] Peranan walisongo dalam masyarakat jawa timur pada akhir majapahit, hlm.54-55

[6] ibid

[7] Ibid, 16-17

[8] Peranan walisongo dalam masyarakat jawa timur pada akhir majapahit, hlm. 49-52

[9] Muh Fatkhan, Dakwah Budaya Walisongo. Jurnal. IAIN Sunan Kalijaga 2003, hlm. 6.

[10] https://serbasejarah.wordpress.com/2008/12/13/sunan-ampel-pengkader-para-pejuang/

[11] Hasbi Siddik, Kiprah Pesantren dalam Pembangunan Nasional. Jurnal. STAIN Sorong Papua Barat, April 2017, hlm. 126. 132

[12]

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

PENGUNJUNG