SEKILAS INFO
: - Jumat, 26-04-2024
  • 1 bulan yang lalu / Telah di buka SEDEKAH BUKA PUASA UNTUK SANTRI Darul Fithrah, mari kita raih pahala sebanyak banyaknya salah satunya dengan memberi makan dan minum orang yg berpuasa di bulan Ramadhan yg mulia ini.
  • 1 bulan yang lalu / Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an , mari kita gunakan waktu di bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak membaca dan mentadabburi isi Al Qur’an.
  • 3 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
BERJALAN DIDEPAN ORANG SHALAT | Part V

BERJALAN DIDEPAN ORANG SHALAT

Dari Abi Nadlar –bekas hamba sahaya Umar bin Ubaidillah- dari Basr bin Sa’id dari Juhaim, Abdullah bin al-Harits bin Shimahm al-Anshari, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah: “Seandainya orang yang berjalan di depan orang yang sholat itu mengetahui akan yang akan menimpa dirinya, niscaya ia akan berhenti selama 40 itu lebih baik beginya daripada ia berjalan di depan orang yang sedang sholat”. Abu Nadlar berkata : “Aku tidak tahu ketika itu Nabi berkata : Empat puluh hari, empat puluh bulan atau empat puluh tahun. (HR. Jama’ah)

Lewat di depan orang yang sholat di tengah-tengah thawaf

Para Fuqoha telah bersepakat bahwa sesungguhnya diperbolehkan lewat di depan orang yang sholat bagi orang yang thawaf di Baitullah, di dalam ka’bah atau di belakang maqam Ibrahim, walaupun terdapat sutrah. Ulama Hanabilah menyatakan bahwa tidak diharamkan lewat di depan orang yang sholat di Makkah atau masjid Haramnya.[1]

Syekh al-‘Utsaimin berkata: “Jika orang yang sedang shalat itu sebagai imam atau shalat sendirian maka tidak diperbolehkan lewat di depannya baik di masjidil Haram maupun di tempat lain berdasarkan keumuman dalil. Tidak ada dalil khusus yang menyebutkan bahwa lewat di depan orang yang shalat di Makkah ataupun di Masjidil Haram tidak mengapa atau tidak berdosa.”[2]

MENCEGAH ORANG YANG LEWAT

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ

Artinya: “Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorang pun lewat di antara engkau dengan sutrah. apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya dia itu adalah syetan.” (HR. Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abi Sa’id)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Jumhur berpendapat bahwa apabila ada seseorang lewat, kemudian orang yang sedang sholat itu tidak menolaknya, dia tidak harus untuk menarik kembali orang yang lewat itu, karena yang demikian itu berarti menyuruh mengulang berjalan di hadapan orang yang sedang sholat.”

Syarih berkata: “Abu Nu’aim meriwayatkan dari Umar, ia berkata: “Kalau sekiranya orang yang sedang sholat itu mengetahui kekurangan sholatnya lantaran dilalui oleh orang yang di depannya itu, niscaya ia tidak akan sholat kecuali  dengan menghadap ke sesuatu yang dapat menutup (lintasan)orang.”[3]

  • KHATIMAH

Demikianlah pembahasan yang dapat disampaikan tentang permasalahan Sutrah (Pembatas) Dalam Shalat. Untuk lebih menegaskan permasalahan yang ada, berikut kami sampaikan beberapa kesimpulan dari pembahasan di atas.

  • Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya.
  • Kesalahan orang yang shalat yang tidak meletakkan di hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapang. Tidak ada bedanya antara di kota Makkah ataupun di tempat lainnya dalam hukum tentang sutrah ini secara mutlak
  • Ukuran minimal sutrah adalah satu dzira’(sehasta) atau sekitar 45 cm dan dalam bentuk apapun. Adapun sekiranya ada halangan untuk menggunakan yang demikian sesudah berusaha semaksimal mungkin, maka diperbolehkan menggunakan sutrah dalam bentuk apapun dan setinggi berapapun yang lebih rendah dari yang semestinya, meskipun dalam bentuk garis. (HR. Ahmad, dalam Fath ar-Rabbaniy: 3/127; Abu Dawud, 1/`27; Ibnu Majah, 1/303)
  • Jarak orang yang shalat dengan sutrah adalah 3 dzira’ (tiga hasta).
  • Sutrah hukumnya wajib bagi imam atau seorang shalat sendirian baik shalat fardhu atau shalat sunnah, laki-laki atau wanita. Sedang makmum tidak diwajibkan karena sutrah imam adalah sutrahnya makmum.
  • Diharamkan melewati orang yang sedang shalat, baik dalam keadaan tertutup dengan sutrah atau tidak. Jika dia tertutup dengan sutrah maka haram hukumnya melewati di antara dia dan sutrah, kecuali dia seorang makmum.
  • Sebagian ulama mensunahkan orang yang shalat untuk meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat ke arah kiblat. Demikian itu tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh.
  • Hukum sutrah berlaku baik di Makkah maupun di luar Makkah.
  • Dalam shalat berjama’ah, makmum tidak wajib membuat sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama’ah terletak pada sutrahnya imam.
  • Jika imam tidak membuat sutrah, sesungguhnya dia telah memburukkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya dari dia. Sedang bagi makmum tidak wajib membuat sutrah dan menahan orang yang melewatinya.[4]

Akhirnya, semoga pembahasan sederhana bermanfa’at bagi kita semua. amin. Wallahu a’lamu bish shawab.

والله أعـــــــلم بالصـــــــــواب

 

REFERENSI

  • Mu’jamul Wasith.
  • http://www.alsofwah.or.id,
  • Tamamul Minnah (edisi Indonesia), Syikh Nashiuddin Al Albani.
  • Nailul Authar (edisi Indonesia), Imam Asy Syaukani.
  • Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan.
  • Fiqhul Islami wa adillatuhu, DR. Wahbah Zuhaili.
  • Majmu’ Fatawa (edisi Indonesia, Syaikh ‘Utsaimin.
  • Fatawa Allajnah Ad Daimah lil buhuts.
  • Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah.

[1] Fiqhul Islami, DR. Wahbah Zuhaili, 2/948

[2] Majmu’ Fatawa (edisi Indonesia, Syaikh ‘Utsaimin, hlm.381

[3] Nailul Authar (edisi Indonesia), 2/666

[4] Khatimah disadur secara ringkas dan bebas dari Ahkaam as-Sutrah, karya Syaikh Muhammad bin Rijq bin Tharhuuniy oleh Ibnu ‘Arbai’in Husnul Yaqin dan Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan, hlm 78-79

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Arsip