SEKILAS INFO
: - Jumat, 27-12-2024
  • 4 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 11 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH | Part II

HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH

    Apakah orang yang medapatkan rukhshah karena udzur sebagaimana seperti di atas wajib melakukan rukhshah tersebut, ataukah hukumnya ibahah (boleh mengamalkannya ataupun meninggalkannya)?

Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Imam Abu Ishaq Asy Syathibi dalam kitab Al Muwafaqat menyebutkan hokum menggunakan rukhshah adalah mubah. Artinya, boleh dilakukan dan boleh tidak melakukan. Alasannya, karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan, agar tidak menyulitkan dan memberatkan. Sehingga seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah tersebut atau tidak tergantung udzur kesulitan, atau keberatan yang dihadapinya.

Misalnya seorang musafir; dia diberi kelapangan untuk memilih, apakah ia mau mengqhasar shalatnya atau tetap itmam (menyempurnakan empat rakaat), tergantung kepada udzurnya. Kalau menggunakan rukhshah, itu diperintahkan; baik secara wajib maupun sunat maka bukan lagi sebuah keringanan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain.

Pendapat dan argumentasi Asy Syathibi di atas dibantah oleh jumhur Ulama yang mengatakan, bahwa menggunakan rukhshah adalah harus dan kembali kepada hukum asalnya, apakah ia wajib atau sunat. Misalnya, menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib, bukan mubah. Karena kalau dikatakan mubah, maka orang tersebut boleh memilih antara makan atau membiarkan dirinya tidak makan, walaupun dirinya mati kelaparan.

Dalam kasus mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, Syaikh Abdul Adzim Al Khalafi mengatakan wajib bagi orang musafir untuk melakukannya. Ini artinya, orang yang musafir wajib melakukan qashar shalat, sekalipun dalam perjalanannya itu ia tidak mendapatkan kesulitan, atau tidak berat melakukan shalat secara sempurna. Beliau memberikan beberapa dalil, diantaranya: Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau berkata,

 

فرض الله الصلا ة على لسان نبيكم صلى عليه وسلم في الحضر أربعا وفي السفر ركعتين وفي الخوف ركعة

     Allah mewajibkan shalat melalui lisan Nabimu, ketika muqim (menetap disuatu tempat) empat raka’at; ketika dalam perjalanaan dua raka’at dan ketika dalam keadaan takut satu raka’at.

 

Dari Abdullah bin Umar RA berkata,

صلاة السفر ركعتان وصلاة الجمعة ركعتان والفطر والأضحي ركعتان تمام غير قصر على لسان نبيكم صلى عليه وسلم

 

     Shalat dalam perjalanan dua raka’at, shalat Jumat dua raka’at, shalat Idul Fithri dan Idul Adha dua raka’at, secara sempurna bukan dikurangi menurut perintah Rasulullah. (HR Ibnu Majah dan Nasa’i).

 

Aisyah berkata,

     Pertama kali shalat difardhukan dua raka’at, kemudian ditetapkan demikian pada shalat musafir; dan menggenapkan (empat raka’at) ketika tidak musafir. (HR Bukhari dan Muslim)

Lajnah Da’imah (Majlis Ulama) di Saudi Arabia ditanya, apa yang lebih afdhal bagi orang yang musafir, berpuasa ataukah tidak?

Lajnah Daimah menjawab: Banyak sekali hadits yang shahih dan perbuatan Rasulullah sendiri yang menunjukkan, bahwa berbuka (tidak berpuasa) lebih baik bagi orang yang musafir; baik dalam keadaan berat ataupun tidak. Meskipun demikian, boleh saja mereka berpuasa sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hamzah bin Umar Al Aslami berkata,

“ Ya, Rasulullah. Diantara kami ada yang kuat melaksanakan puasa ketika musafir. Apakah mereka salah (kalau berpuasa)?” Rasulullah menjawab, “Itu adalah rukhshah dari Allah. Barangsiapa mengambilnya, maka itu lebih baik. Barangsiapa yang ingin berpuasa, maka tidak ada dosa baginya.” (HR Muslim).

     Wallahu a’lam, pendapat mayoritas ulama yang rajih menyatakan keharusan mengamalkan rukhshah; baik itu wajib atau sunnat, dengan alasan:

     Pertama. Sesuai dengan karekteristik Islam yang mudah dan tidak memberatkan.

    Kedua. Rukshshah merupakan shadaqah Allah SWT yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk menerimanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Umayyah, ia bertanya kepada Umar bin Khathab tentang firman Allah SWT “Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar shalat (mu), jika kamu takut di serang orang – orang kafir.Sesungguhnya orang – orang kafir itu musuh yang nyata bagimu”. ( QS An Nisa :101). Dan sekarang kita sudah aman ( Tidak perlu Qashar ). Umar berkata ,

     Saya juga heran sebagaimana anda heran, dan saya bertanya kepada Rasulullah masalah itu dan (Beliau) bersabda, “Shadaqah yang diberikan oleh Allah kepadamu dan terimalah shadaqahNya.”

     Ketiga. Karena itu merupakan shadaqah dari Allah, maka Allah senang bila shadaqahNya diamalkan oleh hambaNya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabda,

 

إن الله يحب أيؤتى رخصه كما يحب أن تترك معصيته

     Sesungguhnya Allah senang untuk diambil keringananNya, sebagaimana Dia senang ditinggalkan maksiat kepadaNya. (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).

     Keempat. Rasulullah SAW sendiri sebagai teladan kita. Beliau selalu mengambil dan mengamalkan sesuatu yang mudah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah, ia berkata: Rasulullah tidak pernah memilih antara dua masalah, kecuali mengambil yang paling mudah selama hal itu tidak berdosa. Kalau hal itu berdosa, maka Beliau orang yang paling menjauhi masalah tersebut. Dan Rasulullah tidak pernah membalas dendam karena pribadinya, kecuali kalau melanggar syari’at Allah, maka Beliau membalasnya karena Allah. (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

PENGUNJUNG