SEKILAS INFO
: - Minggu, 22-12-2024
  • 4 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 11 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
KEDUDUKAN NIAT | Pengaruhnya Dalam Amal Ibadat

 

 

“Dari Umar bin Khathab r.a. ia berkata: “Saya mendengar Rasulallah SAW bersabda: “Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan tiap-tiap orang itu akan memperoleh apa yang diniatkan, barang siapa yang hijrahnya untuk memperoleh duniawi atau mencari wanita yang akan dikawinnya, maka hijrahnya akan menghasilkan sesuai dengan niatnya.” HR. Bukhari dan Muslim

Dalam riwayat lain ada tambahan:

“Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasulnya, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan syafa’at dari Rasul-Nya.”

Keterangan:

Islam cukup besar menaruh perhatian terhadap niat atau perasaan yang menyertai amal  perbuatan manusia. Karena  nilai amal ibadat manusia, hakikatnya kembali kepada si pemiliknya, dan tergantung kepada niatnya.

Bershadaqah atau mengeluarkan derma, atau memberikan sesuatu kepada orang lain merupakan perbuatan dan amal yang baik, tetapi kadang-kadang ada seseorang yang bershadaqah agar dikatakan dia orang baik, atau untuk mendapatkan kedudukan di sisi pejabat, di sisi orang pembesar, atau agar bisa mendapatkan pelayanan dari orang yang diberi shadaqah.

Ada juga yang bershadaqah untuk menghapuskan sifat minta-minta atau menjaga sifat satria dan rasa malu dari orang yang tidak mampu atau semata-mata karena taat kepada Allah, untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharapkan pahala dari-Nya.

Dua orang tersebut di atas mengerjakan suatu macam perbuatan, yaitu bershadaqah, tetapi nilainya berbeda, sesuai dengan perbedaan niat yang mendorongnya.

Orang yang pertama, nilai shadaqahnya rendah karena menginginkan kemanfaatan duniawi yang pribadi. Jika tidak karena keinginan itu, tentu dia tidak bershadaqah. Maka pendorong yang hakiki, yang ikhlas belum bersemayam di dadanya.

Orang yang kedua nilai shadaqahnya tinggi, karena shadaqahnya karena ikhlas, karena didorong memenuhi hati sanubarinya, yaitu dia memang senang berbuat baik kepada sesama manusia, menjaga kemuliaan mereka dan karena taat kepada Allah serta mencari keridhaan-Nya. Orang semacam ini dapat diharapkan kebaikan yang banyak dan dapat diharapkan pula daripadanya kebaikan-kebaikan yang terus menerus. Dia sumber tetap bagi mereka berhajat. Inilah orang yang digambarkan oleh firman Allah dalam Al Quran:

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyirami, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” QS. Al Baqarah(2):265

Adapun orang yang pertama, yakni yang shadaqahnya karena keinginan duniawi maka digambarkan dalam firman Allah:

“Maka perumpamaannya seperti sebuah batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).” QS. Al Baqarah(2): 264

Orang yang kedua, amal ibadahnya berbuah dan orang yang pertama tidak berbuah.

Orang yang shalat ingin agar shalatnya dilihat dan dipuji orang, yakni agar supaya orang-orang menilai bahwa dia orang baik, atau supaya mereka menyerahkan suatu tugas yang menyangkut urusan duniawi serta dia dapat mengambil kemanfaatan duniawi, maka shalatnya sah, tetapi pahalanya tidak sama dengan orang melaksanakan shalat karena Allah semata-mata.

Dengan demikian kita mengetahui makna yang terkandung dalam hadits tersebut di atas: “Bahwa semua amal perbuatan itu tergantung sesuai dengan niatnya”. Maka nilai setiap amal perbuatan itu sesuai dengan nilai niat yang membangkitkannya. Apabila niatnya baik, maka baiklah; apabila niatnya jelek, maka jeleklah; apabila niatnya hina, maka hinalah dan tidak akan terbalik. Inilah art dari ikhtisar hadits tersebut.

Perkataan bahwa: “sesungguhnya amal-amal itu harus dengan niat”, maksudnya bahwa seluruh amal ibadah tidak diakui oleh syara’, melainkan yang disertai dengan niat yang benar-benar untuk beribadah, yakni karena Allah semata-mata.

Jika kita telah mengetahui, bahwa semua amal perbuatan itu sebanding dan sesuai dengan nilai niatnya dan bagi setiap amal perbuatan itu ada balasan bahagia di dunia dan kenikmatan di akhirat atau sebaliknya, maka Rasulallah SAW telah menjelaskan di dalam jumlah kedua dari hadits tersebut yang berbunyi:

“Barangsiapa yang niatnya untuk memperoleh pahala dan keridhaan Allah, maka baginya pahala dan keridhaan-Nya, dan barangsiapa yang niatnya jahat, maka baginya kecelakaan; barangsiapa yang niatnya semata-mata untuk kemuliaan duniawi, maka dia tidak akan mendapat pahala.”

Dan bentuk yang sederhana di dalam hadits ini memberi pengertian, bahwa sesungguhnya amal tanpa niat, maka seseorang tidak akan mendapat sesuatu atau tidak berakibat sesuatu.

Hadits ini mengajak kita mengerjakan berbagai urusan yang luhur lagi tinggi nilainya, menyuruh kita ikhlas di dalam perbuatan taat dan memerintahkan kita berbakti kepada agama. Dan menjelaskan pula bahwa sesungguhnya semua amal perbuatan itu tidak cukup dilihat dari segi lahirnya saja, bahkan yang mendorong melakukannya itulah yang mempunyai pengaruh besar di dalam penilaian rendah dan tingginya dan disiksa atau diberi pahala.

Tambahan redaksi:

Tentu saja hadits ini dikhususkan untuk amal perbuatan yang dibenarkan oleh syara’ (ketentuan Islam). Jadi bila sebuah amal secara lahiriah bertentangan dengan syara’ seperti mencuri, korupsi, menipu; maka ia akan ditolak oleh Allah, terlepas dari niat nya apakah untuk kebaikan atau bukan. Bila sebuah amal sejalan dengan syara’, maka diterima/ditolaknya amalan tersebut tergantung dengan niatnya, bila niat karena Allah semata-mata maka insya Allah akan diterima, bila niatnya selain dari karena Allah maka ia akan ditolak.

Jadi di dalam islam tidak dibenarkan korupsi untuk membangun masjid, mencuri harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menipu untuk dapat naik haji. Hal ini diperintah oleh Allah dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak (benar) dengan yang bathil (salah) dan janganlah kamu sembunyikan yang hak (benar) itu, sedang kamu mengetahui.” QS. Al Baqarah(2): 42

Obat adalah kebaikan, namun bila obat tersebut dicampur dengan setetes dengan hal yang haram, maka para ulama berpendapat bahwa hal ini termasuk melanggar firman Allah di atas. Wallaahu A’lam.

Sumber: Muhammad Abdul Aziz Alkhuly, Akhlaq Rasulullah SAW, CV. Wicaksana.

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

PENGUNJUNG