SEKILAS INFO
: - Kamis, 26-12-2024
  • 4 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 11 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
PELAKU BID’AH DALAM ISLAM | Part IV

 

Tidak diragukan lagi bahwasannya setiap perbuatan bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang dilarang dan perbuatan yang haram. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Jauhilah dari kalian perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap perkara tersebut adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[1] Begitupula sabda nabi yang lain, “Barang siapa yang mengada-ada dan urusan agama kami dengan sesuatu yang bukan bagian darinya, maka hal tersebut tertolak.”[2] Dua hadits diatas menunjukkan bahwa setiap perkara baru dalam agama adalah sebuah kebid’ahan dan perbuatan bid’ah adalah kesesatan yang tertolak. Maka, bid’ah dalam perkara ibadah adalah perbuatan haram. Akan tetapi keharamannya dibedakan sesuai dengan jenis bid’ah yang diperbuat.

Diantaranya dalam bid’ah yang pelakunya akan dihukumi bermaksiat. Seperti bid’ah tabattul (tidak menikah), dan perpuasa dengan berdiri dibawah matahari, atau mengibiri diri sengan tujuan untuk memutus syahwat, dan lain sebagainya.[3] Sebagaimana  yang disebutkan oleh asy-Syatibiy, “Bahwasannya dosa pelaku bid’ah bukan hanya satu tingkat saja. Melainkan terdapat tingkatan yang berbeda. Perbedaan tersebut ditinjau dari aspek-aspek berikut:

  1. Dari aspek cara melakukan bid’ah tersebut. Apakah secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan.
  2. Dari aspek perbuatan tersebut diserukan untuk dikerjakan atau tidak.
  3. Dari aspek perbuatan bid’ah tersebut termasuk dalam kategori hakikiyah atau idhafiyah.
  4. Dari aspek sifat bid’ah yang sudah jelas atau masih terdapat kerancuan.
  5. Dari aspek bid’ah tersebut dilakukan secara terus menerus atau tidak.
  6. Dari aspek bid’ah yang mengkafirkan atau tidak.[4]

Asy-Syatibi menjelaskan bahwa aspek diatas memiliki perbedaan dalam menghukuminya sesuai dengan akibat yang ditimbulkan setelah melalui penelitian yang mendalam. Beliau juga menjelaskan bahwa aspek diatas beberapa diantara dihukumi sebagai suatu yang haram dan lainnya dihukumi sebagai perbuatan makruh. Akan tetapi, sifat sesat dalam perbuatan tersebut memang sudah lazim disematkan dan hal tersebut bersifat menyeluruh kepada seluruh perbuatan bid’ah. Maka, hukum bid’ah dapat dikategorikan menjadi 3 bagian sesuai dengan kadar perbuatannya:

  1. Kafir secara jelas.[5]
  2. Bagian dari perbuatan dosa besar.[6]
  3. Bagian dari perbuatan dosa kecil.[7] Kategori ini memiliki beberapa syarat:
  4. Tidak dilakukan secara kontinue. Karena perbuatan bid’ah yang dilakukan secara kontinue akan menjadikan perbuatan tersebut sebagai dosa besar.
  5. Perbuatan tersebut tidak diserukan oleh pelakunya. Karena hal tersebut akan sangat berdosa jika banyak yang melakukan hal serupa akibat seruannya.
  6. Tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Dan bukan juga pada aspek-aspek yang terdapat posisi sunnah didalamnya
  7. Tidak meremehkan dosa tersebut dan tidak merendahkannya. Karena hal tersebut seperti menganggap remeh dosa kecil. Dan meremehkan dosa adalah dosa paling besar.[8]

Vonis sesat tetap disematkan dalam bid’ah. Karena Nabi SAW sudah menjelaskan dalam sabda beliau bahwa setiap perbuatan bid’ah adalah sesat. Sehingga tidak hanya bid’ah yang membawa kepada kekafiran saja yang dihukumi bid’ah, namun perbuatan bid’ah yang terindikasi perbuatan dosa besar atau kecil juga disebut sebagai perbautan bid’ah, meski dihukumi berbeda antara satu dan lainnya.[9]

Beberapa contoh yang kami paparkan dibawah adalah sedikit contoh dari perbuatan bid’ah.

Bid’ah Mukaffirah: Thawaf di kuburan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada pemiliki kuburan tersebut. Menyembelih atau bernadzar ditunjukkan kepada pemilik kubur, berdoa kepada pelimiknya, meminta pertolongan kepadanya, sebagimana yang banyak dilakukan oleh Jahmiyah, Mu’tazilah, dan ar-Rafidhah.[10]

Ada juga bid’ah yang menjadi sarana kesyirikan. seperti membangun bangunan diatas kuburan, shalat, berdoa disana.

Ada juga yang dihukumi dengan sebuah kekafiran yang tidak perlu untuk diperjelas kembali. Seperti bid’ah orang jahiliyyah yang telah masyhur diceritakan dalam al-Qur’an. Allah berfirman:

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.”[11]

Ibnu Katsir berkata: Makna ayat ini mengandung celaan dan cemoohan Allah terhadap orang-orang musyrik yang telah banyak membuat-buat bid’ah, kekufuran, dan kemusyrikan. Yaitu mereka menjadikan bagi Allah sekutu dan bagian dari makhluk-Nya, padahal Dia adalah Pencipta segala sesuatu; Mahasuci Allah lagi Mahatinggi. Disebutkan melalui firman-Nya:

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah dari apa yang telah diciptakannya.” (Al-An’am: 136), Yakni dari apa yang telah dijadikan dan diadakan oleh-Nya.

“berupa tanaman.” (Al-An’am: 136), Maksudnya, dari hasil tanaman dan buah-buahan. “Dan ternak suatu bagian.” (Al-An’am: 136), Yaitu suatu bagian tertentu.

“Lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami.” (Al-An’am: 136)

Adapun firman Allah ta’ala:

“Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka” (Al-An’am: 136)[12]

Ali ibnu Abu Talhah dan Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini sebagai berikut: Sesungguhnya musuh-musuh Allah apabila menanam tanaman, lalu mereka menghasilkan buahnya dari tanaman mereka itu, maka mereka menjadikan bagi Allah dari hasil itu suatu bagian tertentu dan bagi berhala sembahan mereka satu bagian lainnya. Kemudian hasil tanaman atau buah-buahan atau sesuatu lainnya yang menjadi bagian berhala-berhala mereka itu mereka simpan dan mereka hitung-hitung. Jika ada sesuatu darinya yang terjatuh, yang menurut peristilahan mereka disebut untuk samad, maka mereka mengembalikannya kepada bagian yang diperuntukkan bagi berhala. Apabila mereka kedahuluan oleh air yang sedianya mereka akan gunakan untuk mengairi bagian untuk berhala, lalu air itu mengairi sesuatu dari bagian yang diperuntukkan buat Allah, maka mereka menjadikannya untuk berhala. Jika ada sesuatu yang gugur dari hasil tanaman dan buah-buahan yang mereka jadikan untuk Allah, hingga bercampur baur dengan bagian yang diperuntukkan buat berhala, maka mereka mengatakan, “Ini miskin,” lalu mereka tidak mengembalikannya kepada bagian yang diperuntukkan buat Allah. Apabila mereka kedahuluan oleh air yang sedianya mereka akan menggunakannya buat mengairi bagian Allah, lalu air itu mengairi bagian yang diperuntukkan buat berhala, maka mereka membiarkannya untuk berhala mereka. Mereka mengharamkan sebagian dari harta (ternak) mereka yang disebutkan oleh peristilahan mereka dengan nama bahirah, saibah, wasilah, dan ham. Mereka memperuntukkan hal tersebut bagi berhala-berhala mereka, dengan dugaan bahwa mereka mengharamkannya sebagai amal pendekatan diri kepada Allah. Maka Allah Swt. berfirman: Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah. (Al-An’am: 136), hingga akhir ayat.[13]

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa segala sesuatu yang mereka peruntukkan bagi Allah berupa sembelihan yang mereka sembelih, mereka tidak memakannya selama-lamanya kecuali jika mereka menyebutkan beserta sebutan-Nya nama berhala-berhala mereka (saat menyembelihnya). Sedangkan hewan yang mereka sembelih untuk berhala-berhala mereka, mereka sama sekali tidak mau menyebut nama Allah bersama nama berhala mereka. Lalu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam membacakan ayat ini sampai dengan firman-Nya: Amatlah buruk ketetapan mereka. (Al-An’am: 136)

Maksudnya, amat buruklah apa yang mereka bagikan itu, karena sesungguhnya mereka pada dasarnya telah membuat kekeliruan dalam pembagian. Karena Allah Swt. adalah Tuhan segala sesuatu dan Yang memilikinya serta Yang menciptakannya; hanya milik-Nyalah semuanya itu, Dialah Raja. Segala sesuatu berada dalam pengaturan-Nya dan tunduk pada kekuasaan serta kehendak-Nya, tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb (Pemilik) selain Dia. Dan manakala mereka melakukan pembagian, kerusakanlah yang dilakukannya, karena menurut hawa nafsu mereka sendiri mereka tidak adil, bahkan berbuat aniaya dan melampaui batas dalam pembagian tersebut. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah anak-anak perempuan. Mahasuci Allah, sedangkan untuk mereka sendiri apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki).” (An-Nahl: 57)

“Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah).” (Az-Zukhruf: 15)

“Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? (An-Najm: 21) Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 22).[14]

Begitupula bid’ah yang dilakukan oleh orang munafik ketika menjadikan agama Islam sebagai tindakan preventif untuk menjaga nyawa, harta mereka. Hal tersebut termasuk perbuatan bid’ah yang langsung dihukumi kafir yang tidak perlu untuk diperjelas kembali.[15]

Adapun diantara bid’ah yang dihukumi sebagai perbuatan maksiat atau belum mencapai derajat kafir dan atau masih terdapat kerancuan dalam menghukuminya sebagai kekafiran adalah sebagaimana keyakinan orang Khawarij dan Qadariyah[16], dan Murji’ah[17].

Adapun yang dihukumi sebagai maksiat adalah seperti seseorang yang mengkebiri diri karena ingin menghilangkan syahwat agar bisa fokus beribadah, dan perpuasa dengan cara berdiri di bawah terik matahari, atau tidak menikah.

Adapun bid’ah yang dihukumi makruh adalah sebagaimana yang sering terjadi pada masyarakat sekitar. Seperti berkumpul dimasjid untuk berdo’a dengan mengangkat tangan tinggi, dan menyebut-nyebut sultan pada khutbah Jum’at.[18]

Sikap para Imam terhadap bid’ah sudah sangat jelas. Dan hal tersebut adalah bagian dari peringatan terhadap perbuatan bid’ah dan sikap bertahan dengan kuat untuk berpegang kepada sunnah dan mencegahnya. Ibnu Mas’ud berkata: “Tidak berlebihan didalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh didalam bid’ah”.[19] Bahwasannya pelaku bid’ah itu lebih buruk dari pelaku maksiat. Karena Nabi SAW telah memerintahakan untuk membunuh para Khawarij dan melarang untuk memerangi para pemimpin yang dzalim dan berkata kepada orang yang telah melaknat para peminum khamr: “Janganlah kalian melaknatnya (para peminum khamr), karena dia masih mencintai Allah dan Rasul-Nya.[20]

Bid’ah terkadang bisa meyeret pelakunya kepada kesyirikan, atau selain dari itu. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa bid’ah memang terbagi menjadi beberapa bagian. Diantaranya adalah yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Contoh perbuatannya adalah berdo’a kepada selain Allah, meminta pertolongan dengan orang mati, menyembelih untuk mereka, kesemuanya adalah perbuatan bid’ah yang syirik. Allah tidak akan mengampuni dosa mereka kecuali dengan bertaubat sebelum ajal menjemput mereka. Kalaulah mereka mati dalam keadaan masih dalam kesyirikan, maka mereka kekal di Neraka sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya…”[21]

Ibnu Katsir berkata: Dalam pembahasan yang lalu telah kami ketengahkan makna ayat yang mulia ini, yaitu firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu.” (An-Nisa: 116), hingga akhir ayat.

Telah kami sebutkan pula hadis-hadis yang berkaitan dengan ayat ini pada permulaan surat (yakni surat An-Nisa).

Imam Turmuzi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Saubar ibnu Abu Fakhitan alias Sa’id ibnu Alaqah, dari ayahnya, dari Ali r.a. yang mengatakan, “Tiada suatu ayat pun di dalam Al-Qur’an yang lebih aku sukai selain ayat ini,” yakni firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia. (An-Nisa: 116), hingga akhir ayat. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa asar ini hasan garib.[22]

Syirik adalah perbuatan bid’ah. Karena Allah ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya. Jika mereka beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya secara bersamaan, maka ia telah membuat hal baru dalam agama dengan apa yang buka bagian dari agama. Hal tersebut adalah bid’ah yang sangat besar. Karena ia telah membuat syariat agama yang Allah belum izinkan dan ridha akan hal tersebut.[23]

 

[1] Ahmad bin Amru asy-Syaibani, as-Sunnah li Ibni Abi Ashim, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1400 H), vol: 1, hlm: 17, no: 26

[2] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Damaskus: Daru Thuqin Najah, 1422 H), vol: 3, hlm: 184, no: 2697; Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daru Ihya’i at-Turats al-Arabi, 1431 H), vol: 3, hlm: 1343, no: 1718

[3] Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Kitabu at-Tauhid, hlm: 82

[4] ‘Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf, Mukhtashar al-I’tisham, (Darul Hijrah lin-Nsyr wat Tauzi’, 1418 H) hlm: 51-52

[5] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatibi, al-I’tisham, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsiyyah Darul Fikri), vol: 2, hlm: 516

[6] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatibi, al-I’tisham, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsiyyah Darul Fikri), vol: 2, hlm: 517, hlm: 543-550

[7] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatibi, al-I’tisham, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsiyyah Darul Fikri), vol: 2, hlm: 517, 539, 543-550

[8] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatibi, al-I’tisham, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsiyyah Darul Fikri), vol: 2, hlm: 551-559

[9] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatibi, al-I’tisham, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsiyyah Darul Fikri), vol: 2, hlm: 516

[10] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, al-Irsyad ilaa Shahihi al-I’tiqad wa ar-Radd ‘ala Ahli as-Syirki wa al-Ilhad, (Daru Ibnul Jauzi, 1420 H), hlm: 323

[11] QS. Al-An’am: 136

[12] Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 3, hlm: 344

[13] Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 3, hlm: 344

[14] Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 3, hlm: 344

[15] Abdullah bin Abdul Aziz bin Ahmad at-Tuwaijiri, (Riyadh: Darul Fadhilah, 1421 H), hlm: 28

[16] Qadariyyah adalah kelompok sesat yang menafikan sifat Allah yang lazim seperti al-Ilmu, al- Qadar, dan al-Haya’. Lihat: Mukhtashar Ma’arijul Qabul, hlm: 291-293

[17] Murji’ah adalah bagian dari kelompok sesat yang mengatakan bahwa kemaksiatan tidak akan mempengaruhi iman, sebagaimana ketaatan tidak adakan berpengaruh kepada kekafiran. Lihat: Tafsir Maqatil bin Sulaiman, vol: 5, hlm: 118

[18] Bid’ah al-Hawliyyah, hlm: 29

[19] Al-Hakim, Mustadrak al-Hakim, vol: 1, hlm: 29

[20] Abdur Razak bin Hammam ash-Shan’ani, Mushannaf Abdu ar-Razzak, (India: Majlis al-Ilmi, 1403 H), vol: 7, hlm: 380, no: 13552

[21] QS. An-Nisa’: 116

[22] Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’anu al-‘Adzim, (Daru Thibbiyyah, 1420 H/ 1999 M), vol: 2, hlm: 413-414

[23] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Alu Fauzan, Silsilah Syarhu Rasa’ilu al-Imam al-Mujaddid, (Kairo: Darul Imam Ahmad, 1436 H/ 2015), vol: 3, hlm: 72

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

PENGUNJUNG