SEKILAS INFO
: - Selasa, 16-04-2024
  • 3 minggu yang lalu / Telah di buka SEDEKAH BUKA PUASA UNTUK SANTRI Darul Fithrah, mari kita raih pahala sebanyak banyaknya salah satunya dengan memberi makan dan minum orang yg berpuasa di bulan Ramadhan yg mulia ini.
  • 3 minggu yang lalu / Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an , mari kita gunakan waktu di bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak membaca dan mentadabburi isi Al Qur’an.
  • 3 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
POLEMIK PEMBAGIAN BID’AH | Part V

Ulama berbeda pendapat dalam masalah pembagian bid’ah dengan berbagai perbedaannya. Beberapa ulama membagi bid’ah kepada 5 macam sesuai dengan pembagian hukum taklifiy sebagaimana al-Izz bin Abdussalam.[1]

Bid’ah dibagi sebagaimana yang dikemukakan oleh beliau terbagi menjadi bid’ah wajib yaitu perkara yang menggunakan kaidah wajib yang disertai dalil-dali; syar’i dalam penentuannya, atau mandub yaitu perkara yang menggunakan kaidah sunnah dan dalil syari yang ada, atau mubah seperti yang lainnya, atau haram yaitu perkara yang menggunakan kaedah keharaman disertai dalil syar’i yang  mengharamkan hal tersebut, dan makruh.[2]

Pendapat lain yang membagi bid’ah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh asy-Syaf’i saat berbicara bid’ah. Ia berpendapat bahwa bid’ah atau hal yang baru itu terbagi menjadi 2 sisi. Pertama, apa yang diperbuat menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah atau atsar atau ijma para salaf. Maka perbuatan ini adalah bid’ah yang menyesatkan. Kedua, amalan kebaikan yang dibuat tidak menyelisihi salah satu dari yang disebutkan diatas. Maka perbuatan tersebut adalah bid’ah yang tidak tercela.[3]

Namun, bebarapa ulama berpendapat bahwa bid’ah adalah sesat dan tidak ada pembagian didalamnya. Mereka berpendapat bahwa pembagian ini  tidak sesuai dengan sabda nabi SAW: “Maka bahwa sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap perbuatan bid’ah adalah sesat.”[4]

Beberapa ulama menolak pembagian tersebut sebagaimana yang dilakukan asy-Syatibiy dan mengomentari hal tersebut. Beliau berkata: “Bahwasannya pembagian ini adalah perkara baru yang tidak ada landasan dalil syar’i dalam pembagian bid’ah tersebut. Hal tersebut sudah tertolak. Karena pada hakikatnya bahwa perbuatan bid’ah adalah saat sesuatu tersebut tidak bersandarkan dalil konkrit baik dari nash syar’i ataupun  kaidah yang ada.[5]

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa setiap bid’ah adalah perbuatan tercela, maka itu adalah perkataan yang lebih dianggap mendekati kebenaran.[6] Karena para ulama mengatakan bahwa bid’ah adalah sebuah keharaman. Namun memang dalam derajat pengharamannya terdapat perbedaan.

Jika dikolerasikan antara pendapat yang ada, antara perkataan yang tidak membagi bid’ah dan yang membaginya, dapat disimpulkan bahwa hal tersebut hanya perbedaan secara bahasa. Karena kedua pendapat diatas jika diteliti memiliki kesamaan konteks ketika berbicara bid’ah. Hal tersebut adalah ketika suatu perbuatan yang diniatkan untuk ibadah murni tidak disertai dalil konkrit untuk mengabsahkannya, disebut sebagai perbuatan bid’ah yang haram untuk dilakukan berdasarkan dalil-dalil pengharaman atas hal tersebut.

Maka, tidak semua hal baru setelah tidak adanya Nabi disebut bid’ah. Akan tetapi sesuatu disebut bid’ah jika termasuk dalam kategori ibadah murni. Dalam makna lain jika seseorang meniatkan perbuatannya yang tidak ada contohnya dari Rasulllah untuk beribadah kepada Allah, ataupun perbuatan yang baru tersebut secara dzat tidak lain memang difungsikan untuk beribadah kepada Allah. Maka, hal tersebut barulah dikatakan sebagai suatu bid’ah.[7]

Niat ibadah bisa terdapat dalam inti perbuatan, atau sifatnya, atau pengkhususannya, dan lain sebagainya. Jika hal tersebut diniatkan untuk ibadah tanpa disertai dalil, maka disebut bid’ah. Maka, suatu ibadah murni tidak boleh dikhususkan tempat, waktu, kadar, sifat, atau gerakannya, kecuali terdapat dalil yang mengkhususkan hal tersebut.

Adapun suatu perbuatan yang didasari oleh maslahat pada dasarnya dihukumi mubah. Akan tetapi hal tersebut bisa bernilai ibadah dan ketaatan dengan merubah niat. Maka, perbuatan tersebut tidak membutuhkan dalil pengkhususan. Dan hal itu menjadi salah satu bentuk berlomba dalam kebaikan.[8]

 

 

[1] Qawa’idu al-Ahkam, vol: 2, hlm:182

[2] Shalah Muhammad Muhammad al-Itrobiy, Tahriru Ma’na al-Bid’ah, (Riyadh: Maktabah Darul Hijaz, 1436 H), hlm: 195-196

[3] Ibnu Taimiyah, Majmu al-Fatawa, (Madinah: Majma al-Mulk Fahd, 1416 H/ 1995 M), vol 20, hlm: 163

[4] Abu Dawud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Maktabh al-Ashriyyah, 1431 H), vol: 4, hlm: 200, no: 4607, at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Babi al-Halbi, 1395 H/ 1975 M), vol: 5 hlm: 44, no: 2676

[5] Shalah Muhammad Muhammad al-Itrobiy, Tahriru Ma’na al-Bid’ah, (Riyadh: Maktabah Darul Hijaz, 1436 H), hlm: 189

[6] Abdullah bin Abdul Aziz bin Ahmad at-Tuwaijiry, al-Bid’ah al-Hauliyyah, (Darul Fadhilah, 1421 H), hlm: 28

[7] Shalah Muhammad Muhammad al-Itrobiy, Tahriru Ma’na al-Bid’ah, (Riyadh: Maktabah Darul Hijaz, 1436 H), hlm: 216

[8] Shalah Muhammad Muhammad al-Itrobiy, Tahriru Ma’na al-Bid’ah,…hal: 217

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Arsip