SEKILAS INFO
: - Selasa, 16-04-2024
  • 3 minggu yang lalu / Telah di buka SEDEKAH BUKA PUASA UNTUK SANTRI Darul Fithrah, mari kita raih pahala sebanyak banyaknya salah satunya dengan memberi makan dan minum orang yg berpuasa di bulan Ramadhan yg mulia ini.
  • 3 minggu yang lalu / Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an , mari kita gunakan waktu di bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak membaca dan mentadabburi isi Al Qur’an.
  • 3 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
SIKAP ULAMA TERHADAP BID’AH DAN PELAKUNYA | Part VI

SIKAP ULAMA TERHADAP BID’AH DAN PELAKUNYA

 

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa bid’ah berbahaya bagi aqidah  dan masyarakat islam secara umum. Para ulama telah mengultimatum kepada kita semua untuk menjauhi bid’ah dan berhati-hati terhadap para pelakunya melalui media tulis atau langsung dengan lisan mereka. Sehingga, penulis bermaksud untuk mencantumkan beberapa sikap para ulama yang tertulis dalam kitab yang ada.

SIKAP ULAMA SALAF TERHADAP BID’AH DAN PELAKUNYA

Banyak Ulama yang Ikut andil dalam mengkritik serta mengambil suatu tindakan terhadap pelaku bid’ah. Beberapa komentar ulama salaf kami rangkum d\pada tulisan berikut:

1.      Melawan dengan tindakan: Umar bin Khattab (23 H) r.a berkata: “Akan datang suatu kaum yang membantah kalian dengan syubhat al-Qur’an. Maka, lawan mereka dengan sunnah-sunnah! Karena ahlu sunnah lebih mengerti tentang Kitabullah.”[1]

2.      Membenci pelaku bid’ah: Ibnu Abbas (35-68 H) berkata: “Tidak ada suatu kaum di muka bumi yang lebih aku benci  melainkan mereka mendatangiku lalu mereka memusuhiku, seperti Qodariyyah dalam hal takdir, dan lain sebagainya kecuali karena mereka tidak mengetahui kuasa Allah dan  Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.[2]

3.      Berwasiat untuk menjauhi perbuatan bid’ah: Umar bin Abdul Aziz (61 H- 101 H) berkata: “Aku mewasiatakan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan tetap lurus dalam agamanya, dan mengikuti perintah Rasullah, dan meninggalkan apa yang dibuat-buat oleh pelaku bid’ah setelahnya.[3]

4.      Mencukupkan dengan sunnah: Abu Abdurrahman as-Salimiy (74 H) berkata: “Ikutilah (sunnah) dan janganlah kalian membuat bid’ah. Cukuplah bagi kalian bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan.”[4]

5.      Melarang berkumpul dengan mereka: Syu’bah (85-160 H) berkata: “Sufyan ats-Tsauri adalah orang yang membenci pelaku bid’ah dan melarang dari duduk bersama dengan mereka dengan peringatan yang sangat keras.”

6.      Memperingati bahaya pelaku bid’ah: Sufyan ats-Tsauri  (96-161 H) berkata: “Barangsiapa yang mendengar dari seorang pelaku bid’ah, maka Allah tidak akan memberi manfaat atas apa yang ia dengar. Dan barangsiapa yang berjabat tangan dengannya, maka ia telah membatalkan keislamannya sedikit demi sedikit.”[5]

7.      Mengingatkan ancaman Allah: Fudhail bin Iyyadh (107- 187 H) berkata: Rasulullah bersbda: “Barangsiapa yang duduk kepada pelaku bid’ah Allah akan hapus amalnya dan mengeluarkan cahaya iman dari hatinya.[6]

8.      Nashihat dan ancaman bagi perbuatan bid’ah: Fudhail bin Iyyadh berkata: “Barangsiapa yang berteman dengan pelaku bid’ah Allah akan hapus amalannya dan mengeluarkan cahaya Islam dari hatinya.” Ia berkata: “Barangsiapa yang duduk bersama pelaku bid’ah tidak akan diberikan hikmah kepadanya.” Ia juga berkata: “Janganlah kalian duduk bersama pelaku bid’ah! Karena sessungguhnya aku takut engkau akan ditimpakan laknat.” Ia berkata: “Barangsiapa yang duduk bersama dengan pelaku bid’ah, ia akan diwarisi dengan kebutaan.” Ia berkata lagi: “Jika kalian melihat pelaku bid’ah di jalan,maka berpalinglah dan pilih jalan lain.”[7]

9.      Ibnu al-Mubark (118-181 H) berkata: “Ya Allah, jangan jadikan para pelaku bid’ah penolong disisiku, lantas hatiku mencintai mereka.”[8]

10.  Ibrahim bin Maisurah (132 H) berkata: “Barangsiapa yang menghormati pelaku bid’ah, maka dia telah berkontribusi dalam menghacurkan Islam.”[9]

11.  Asy-Syafi’i (150-204 H) berkata: “Tidaklah seorang hamba kelak akan bertemu dengan Allah dengan segala dosanya kecuali kesyirikan, itu lebih baik daripada ia bertemu Allah dengan sesuatu dari hawa nafsu (bid’ah).[10]

12.  Imam Ahmad (164-241 H) berkata: “Jika seseorang selamat dari pelaku bid’ah maka dialah orang yang dicintai”.[11] Hal ini menunjukan bahwa tidak boleh cinta terhadap pelaku bid’ah.

2.2.2. SIKAP ULAMA KHALAF TERHADAP BID’AH DAN PELAKUNYA

Banyak ulama yang telah ikut berkontribusi dalam menjelaskan dan berkomentar dalam perkara bid’ah. Tak sedikit dari mereka juga memberikan peringatan atas mualah dan muasyarah dengan para pelaku bid’ah. Dibawah ini kami rangkum beberapa perkataan ulama khalaf mengenai bid’ah.

1.      Bara’ (berlepas diri) dari perbuatan bid’ah: At-Thahawi (239-321 H) berkata: “Kita meminta kepada Allah agar diteguhkan hatinya atas iman, dan kita dicukupkan atas hal itu, dan kita dibebaskan dari perbudakan hawa nafsu yang menyelisihi syariat, dan pendapat dan memecah belah umat, dan madzhab yang sesat, yang mereka semua adalah menyelisihi sunnah dan jamaah, serta bersekutu dalam kesesatan. Kita berlepas diri dari mereka dan mereka adalah para pelaku sesat dan tertolak bagi kita.”[12]

2.      Tidak mencintai mereka: Abu Utsman Ismail ash-Shabuni (373-449 H) bercerita tentang ahlu sunnah: “Mereka murka terhadap pelaku bid’ah yang membuat-buat dalam agama apa yang buka bagian darinya. Dan mereka tidak mencintai mereka dan tidak pula bersahabat dengan mereka.”[13]

3.      Memerangi mereka: Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni (373-449 H) setelah menceritakan madzhab para ahli hadits terdahulu, berkata: “Mereka bersepakat terhadap perkataan bahwa untuk memerangi ahli bid’ah, dan menghinakan, menjauihi mereka, memutus hubungan, saling berjauhan dari mereka dan dari bersahabat dengan mereka, dan bersosial dengan mereka, dan sarana mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan menjauhi mereka dan memutus hubungan dengan mereka.[14]

4.      Memusuhi mereka: Al-Baghawi (436-516 H) berkata: “Telah sempurna para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan para ulama sunnah, mereka semua telah sepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan memutus hubungan dengan mereka.”[15]

5.      Utsman al-Azadiy (654 H- 721 H) berkata: Aku berkunjung kepada Ibnu Abbas, lalu aku berkata kepadanya: “Nasihatilah aku!” lantas ia berkata: “Hendaknya kamu bertaqwa kepada Allah dan istiqomahlah didalamnya. Ikutilah itu dan jangan berbuat bid’ah.”[16]

6.      Al-Qurthubi (671 H) berkata: “Malik mendapatkan petunjuk dari ayat untuk memusuhi Qadariyah dan meninggalkan duduk bersama dengan mereka. Asyhab bin Malik berkata: ‘Janganlah kalian duduk dengan Qadariyah sedangkan kalian berpegang kepada Allah. Sebagaiman firman Allah:

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya”[17]

7.      Membenci perbuatan bid’ah: Ibnu ‘Aun (685-768 H) berkata: “Suatu kaum tidak akan dibenci oleh Muhammad -Ibnu Sirin- melebihi bencinya terhadap kaum yang mengada-ngada dalam perkara takdir dengan sesuatu yang mereka buat-buat.[18]

8.      Asy-Syatibi (790 H) berkata: “Sesungguhya kelompok yang selamat adalah ahlu sunnah wal jama’ah. Mereka diperintahkan untuk memusuhi ahli bid’ah dan menyesatkan mereka, dan menarik kembali orang-orang yang berlari kearah mereka. Kita diperintahkan untuk memusuhi mereka, dan mereka diperintahkan untuk berloyal kepada kita dan kembali kepada Jama’ah.”[19]

9.      Segaimana yang telah dijelaskan dalam syarh diatas: “Dan janganlah kalian bermusyarah dengan salah satu dari ahli bid’ah dan perkara agama kalian. Jangan jadikan teman perjalananmu. Dan jika kalian tinggal disuatu tempat jangan bertetangga dengan mereka. Termasuk dari sunnah adalah menjauhi siapa saja yang memiliki keyakian sebagaiman yang kami sampaikan (bid’ah), dan memutus hubungan dengan mereka, membenci mereka, dan memutus hubungan kepada orang yang berloyal kepada mereka dan menolong mereka serta berteman dengan mereka. Meskipun mereka adalah orang yang jelas melaksanakan sunnah.[20]

10.  Tidak berloyal kepada mereka: Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1206 H) berkata: “Barangsiapa yang taat kepada Rasul dan Meng-Esakan Allah, tidak boleh baginya untuk berloyal kepada mereka yang menyimpang dari Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah kerabat dekat, ataupun mereka adalah bapak kalian atau anak kalian atau saudara kalian atau keuarga kalian.”[21]

11.  Memutus hubungan dengan ahlu bid’ah: Abdul Lathif bin Abdurrahman Ali as-Syaikh (1225 H) berkata: “Dan termasuk dari sunnah yang telah diwariskan para umat terdahulu dan para imam-imamnya, serta apa yang dilakukan oleh imam Ahmad bin Hambal, yaitu keras dalam memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah, meninggalkan perdebatan dengan mereka serta membuang jauh-jauh perkataan mereka, saling berjauhan sebisa mungkin,  dan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membenci, mencela, serta menjatuhkan aib kepada mereka.[22]

12.  Sulaiman bin Sahman (1266-1349 H) berkata: “Ketahuilah bahwa para salaf menyebut para pelaku bid’ah dan pelaku sesat adalah orang sesat yang tidak mengeluarkan dirinya dari agama. Akan tetapi mereka keras dan memberi peringatan kepada 2 perkara: pertama, bid’ah yang sangat kuat dan jelas. Bagi mereka perbuatan itu lebih buruk dari dosa besar dan mereka memperlakukan pelakunya lebih dari apa yang mereka lakukan kepada para pelaku dosa besar. Sebagaimana yang terjadi pada zaman ini bahwa Rafidhah adalah golongan sesat. Meskipun diantara mereka ada orang yang alim dan ahli ibadah, mereka lebih dibenci daripada orang yang paling berdosa sekalipun diantara ahlu sunnah. Kedua, bahwasannya bid’ah akan mendorong kepada kemurtadan sebagaiman yang banyak terjadi pada pelaku bid’ah.”[23]

13.  Humud at-Tuwaijiri (1334-1342 H) berkata: “sungguh, para salaf shalih memperingatkan dari pelaku bid’ah, dan menyerukan untuk berhati-hati dari mereka, serta melarang mereka untuk duduk bersama, bersahabat dengan mereka, dan mendengar perkataan mereka. Para salaf juga menyuruh untuk menjauh dari mereka, memusuhinya, membencinya, serta meng hajr mereka.”[24]

14.  Meng-hajr ahlu bid’ah: Muhammad bin Shalah al-Utsaimin (1347-1421 H) berkata: “Yang dimaksud dengan meng-hajr ahli bid’ah adalah menjauhi mereka serta tidak mencintai mereka. Tidak loyal kepada mereka, tidak memberi salam dan tidak mengunjungi mereka, dsb. Hajr ahli bid’ah adalah sebuah kewajiban sebagaimana firman Allah:

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,”

Hal ini juga sebabkan karena Nabi SAW juga meng-hajr Ka’ab bin Malik dan para pengikutnya ketika membelot dari perang tabuk.”[25]

15.  Tidak mengambil ilmu dari mereka: Bakr Abu Zaid  (1365 H) berkata: “Wahai sekalian penuntut ilmu! Jika kalian dalam kelapangan dan bisa memilih,  maka jangan mengambil ilmu dari pelaku bid’ah: dari Rafidhah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyyah, atau Quburiyyah, dan lain sebagainya. Karena sesungguhnya tidaklah kalian mencapai derajat seorang ar-Rijal (aqidah dalam beragamanya kuat serta hubungan dengan Allah sangat kuat, pandangannya benar dengan mengikuti atsar yang telah ada), kecuali dengan memutus hubungan dengan pelaku bid’ah dan perbuatan bid’ah yang mereka kerjakan.”[26]

 

 


[1] As-Suyuthi, al-Amru bil Ittiba’ wa an-Nahyu ‘an al-Ibtida’, hlm: 61

[2] Abu Bakar Muhammad bin al-Husain al-Ajuri, asy-Syari’ah, al-Maktabah asy-Syamilah, hlm: 204

[3] Abu Daud, As-Sunnah, (Beirut: Dar Ihya’i at-Turats al-‘Arabiy), vol: 12, hlm: 365

[4] Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, (al-Muwashshal: Maktabaul Ulum wal Hikam, 1404 H/ 1983 M), vol: 9, hlm: 154

[5] As-Suyuthi, al-Amru bil ‘Ittiba’, hlm: 19

[6] Muhammad bin Wadhdhah al-Qurthubi, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1416 H), vol: 6, hlm: 97, no: 119

[7] Abu Muhammd al-Hasan bin Ali bin Khalaf al-Burhani, Syarhu as-Sunnah, Maktabah Syamilah, hlm: 136

[8] Al-Lalika’i, Syarhu Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah, vol: 1, hlm: 140

[9] Diriwayatkan dari al-Lalika’i, nomor: 273, dinisbatkan kepada Abu Syamah didalam  al-Ba’its, hlm: 17, dan as-Suyuthi didalam al-Amru bil ‘Ittiba’, hlm: 18 kepada Muhammad bin Aslam, das asy-Syatibi didalam I’tisham, hlm: 1/113, kepada Hisyam bin Aurah, dan diriwayatkan oleh adz-Dzahabi didalam al-Mizan, secara marfu’ dari Ibnu Abbas

[10] As-Suyuthi, Haqiqatu as-Sunnah wal Bid’ah

[11] Ibnu Abi Ya’la, Thabaqat al-Hanabilah, (PDF: www.alwarraq.com), hlm: 77

[12] Ibnu Abi al-Izz, Syarhu at-Thahawiyyah, hlm: 520

[13] Ash-Shabuni, Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hlm: 118

[14] Khalid al-Masyiqah, Syarhu Aqidati as-Salaf wa Ashabu al-Hadits li Abi Utsman ash-Shabuni, http://www.saaid.net/book/index.php/, pdf hlm: 136

[15]  Al-Baghawi, Syarhu as-Sunnah, vol: 1, hlm: 227

[16] Abdullah  bin Abdurrahman ad-Darimi as-Samarqandi, Sunan ad-Darimi, (Saudi: Darul Mughni, 1412 H/ 2000 M), vol: 1, hlm: 250, no: 141

[17] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Khazraji Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah, 1384 H/1963 M), vol: 17, hlm: 308

[18] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Khazraji Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an,… hlm: 209

[19] asy-Syatibi, al-I’tisham, (Saudi: Daaru Ibnu Affan, 1412 H/ 1992 M), vol: 1 hlm: 157

[20] Ibnu Baththah al-Abkari,  Matnu Kitab asy-Syarhu wal Ibanah ‘ala Ushul as-Sunnah wa ad-Diyanah, Maktabah Syamilah, hlm: 260

[21] Muhammad bin Abdul Wahab, Tsalatsatul Ushul, (Riyadh: Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud), vol: 1, hlm: 186

[22] Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, Majmu’ah ar-Rasa’il wal Masa’il an-Najdiyyah li Ba’di Ulama Najdil A’lam, (Riyadh: Darul ‘Ashimah, 1412 H), vol: 3, hlm: 111

[23] Sulaiman bin Sahman an-Najdi, Kasyfu asy-Syubhatain, (Riyadh: Darul ‘Ashimah, 1408 H), hlm: 37

[24] Humud at-Tuwaihiri, al-Qaulu al-Baligh fii at-Tahdziri min Jama’ati at-Tabligh, Matabah Syamilah, hlm: 20

[25] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarhu Lu’mati al-I’tiqad al-Hadi ilaa Sabiili ar-Rasyad, Maktabah Syamilah, hlm: 55

[26] https://majles.alukah.net/t134708

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Arsip