SEKILAS INFO
: - Kamis, 28-03-2024
  • 1 minggu yang lalu / Telah di buka SEDEKAH BUKA PUASA UNTUK SANTRI Darul Fithrah, mari kita raih pahala sebanyak banyaknya salah satunya dengan memberi makan dan minum orang yg berpuasa di bulan Ramadhan yg mulia ini.
  • 1 minggu yang lalu / Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an , mari kita gunakan waktu di bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak membaca dan mentadabburi isi Al Qur’an.
  • 2 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
SYARAT WAJIB JIHAD | Part III

Jihad diwajibkan apabila syarat-syarat berikut ini terpenuhi:

  1. Laki-laki.
  2. Tidak ada uzur (mampu).
  3. Ada biaya nafkah.

Islam, baligh, dan berakal (taklif) merupakan syarat yang harus terpenuhi dalam melaksanakan amal-amal keagamaan lainnya. Karena orang kafir tidak dapat dipercaya di dalam jihad, orang gila tidak mampu untuk berjihad, dan anak kecil fitrahnya masih lemah,[1] sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku dihadapkan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Uhud dan di saat itu usiaku baru empat belas tahun, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam belum mengizinkanku untuk ikut berperang. Kemudian aku dihadapkan kembali pada saat perang Khandaq dan saat itu usiaku sudah genap lima belas tahun, maka beliau memperkenankanku ikut berperang.”[2]

Adapun pensyaratan merdeka,[3] berdasarkan praktik Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. yang membaiat orang yang merdeka untuk memeluk Islam dan berjihad, sedangkan hamba sahaya dibaiat untuk memeluk Islam saja tanpa ada tuntutan untuk berjihad.[4]

Adapun penetapan syarat laki-laki,[5] berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia bertanya, “Wahai, Rasulullah! Kami memandang bahwa jihad adalah amal yang paling mulia. Tidakkah kami boleh ikut jihad?” Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, namun sebaik-baik jihad bagi kalian (para wanita) adalah haji mabrur.”[6] Juga karena perempuan bukan ahlu qital disebabkan kelemahan mereka. Tidak diwajibkan pula kepada khantsa musykil, karena tidak diketahui keadaannya, apakah ia laki-laki atau perempuan.

Adapun penetapan syarat tidak ada uzur, baik buta, pincang, maupun sakit,[7] berdasarkan firman Allah Ta‘âla, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit…”[8]

Adapun syarat adanya biaya nafkah,[9] berdasarkan firman Allah Ta‘âla, “Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah, orang-orang yang sakit, dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya.”[10]  Selain itu, jihad tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya perlengkapan perang sehingga yang dituntut adalah orang yang mampu menyiapkan perlengkapan tersebut. Ini adalah kondisi pada masa lalu. Adapun untuk masa sekarang, negaralah yang bertugas menyiapkan peralatan perang dan juga nafkah untuk para mujahid.[11]

 

[1] Lihat: Ibnu Qudamah, ­Al-Mughni libni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1969 M), vol. 9, hlm. 197, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Cet. I, tt: Dar Al-Wafa’, 1422 H/2001 M), vol. 5, hlm. 368, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Kafi fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Cet. I, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1414 H/1994 M), vol. 4, hlm. 116, Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syari’, (Kairo: Dar Al-Hadits, 1426 H/2005 M), vol. 9, hlm. 383, An-Nawawi Ad-Damsyiqi, Raudhah Ath-Thalibin, (Cet. I, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/2002 M), hlm. 1788, Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Darul Fikr, 1985 M), vol. 6, hlm. 418, As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Cet. IV, Beirut: Darul Fikr, 1983 M), vol. 2, hlm. 32, Shalih bin ‘Ubaid Al-Harbi, Mausu’ah Al-Ijma’ fi Fiqh Al-Islami, (Cet. I, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 1434 H/2013 M), vol. 6, hlm. 53, Hamd bin Ibrahim Al-‘Utsman, Al-Jihad Anwa’uhu wa Ahkamuhu wa Al-Had Bainahu wa Baina Al-Faudha, (Cet. I, Kairo: Dar Al-Furqan, 1432 H/2010 M), hlm. 159.

[2] HR. Ibnu Majah: 2533.

[3] Lihat: Ibnu Qudamah, ­Al-Mughni libni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1969 M), vol. 9, hlm. 197, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Cet.I, Dar Al-Wafa’, 1422 H/2001 M), vol. 5, hlm. 368, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Kafi fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Cet. I, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1414 H/1994 M), vol. 4, hlm. 117, Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Darul Fikr, 1985 M), vol. 6, hlm. 418, As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Cet. IV, Beirut: Darul Fikr, 1983 M), vol. 2, hlm. 32, Shalih bin ‘Ubaid Al-Harbi, Mausu’ah Al-Ijma’ fi Fiqh Al-Islami, (Cet. I, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 1434 H/2013 M), vol. 6, hlm. 53, Hamd bin Ibrahim Al-‘Utsman, Al-Jihad Anwa’uhu wa Ahkamuhu wa Al-Had Bainahu wa Baina Al-Faudha, (Cet. I, Kairo: Dar Al-Furqan, 1432 H/2010 M), hlm. 165.

[4] Ibnu Qudamah, ­Al-Mughni libni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1969 M), vol. 9, hlm. 198.

[5] Lihat: Ibnu Qudamah, ­Al-Mughni libni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1969 M), vol. 9, hlm. 197, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Cet.I, tt: Dar Al-Wafa’, 1422 H/2001 M), vol. 5, hlm. 368, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Kafi fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Cet. I, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1414 H/1994 M), vol. 4, hlm. 117, Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syari’, (Kairo: Dar Al-Hadits, 1426 H/2005 M), vol. 9, hlm. 383, An-Nawawi Ad-Damsyiqi, Raudhah Ath-Thalibin, (Cet. I, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/2002 M), hlm. 1788, Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Darul Fikr, 1985 M), vol. 6, hlm. 418, As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Cet. IV, Beirut: Darul Fikr, 1983 M), vol. 2, hlm. 32, Shalih bin ‘Ubaid Al-Harbi, Mausu’ah Al-Ijma’ fi Fiqh Al-Islami, (Cet. I, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 1434 H/2013 M), vol. 6, hlm. 53, Hamd bin Ibrahim Al-‘Utsman, Al-Jihad Anwa’uhu wa Ahkamuhu wa Al-Had Bainahu wa Baina Al-Faudha, (Cet. I, Kairo: Dar Al-Furqan, 1432 H/2010 M), hlm. 141.

[6] HR. Bukhari: 1423, 2576.

[7] Lihat: Ibnu Qudamah, ­Al-Mughni libni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1969 M), vol. 9, hlm. 197, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Cet.I, tt: Dar Al-Wafa’, 1422 H/2001 M), vol. 5, hlm. 369, Abi Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar An-Namri Al-Qurthubi, Kitab Al-Kafi fi Fiqh Ahlil Madinah Al-Maliki, (Cet. I, Riyadh: Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsah, 1398 H/1978 M), hlm. 464, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Kafi fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Cet. I, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1414 H/1994 M), vol. 4, hlm. 116, Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syari’, (Kairo: Dar Al-Hadits, 1426 H/2005 M), vol. 9, hlm. 382, An-Nawawi Ad-Damsyiqi, Raudhah Ath-Thalibin, (Cet. I, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/2002 M), hlm. 1788, Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Darul Fikr, 1985 M), vol. 6, hlm. 418, As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Cet. IV, Beirut: Darul Fikr, 1983 M), vol. 2, hlm. 32, Shalih bin ‘Ubaid Al-Harbi, Mausu’ah Al-Ijma’ fi Fiqh Al-Islami, (Cet. I, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 1434 H/2013 M), vol. 6, hlm. 54, Hamd bin Ibrahim Al-‘Utsman, Al-Jihad Anwa’uhu wa Ahkamuhu wa Al-Had Bainahu wa Baina Al-Faudha, (Cet. I, Kairo: Dar Al-Furqan, 1432 H/2010 M), hlm. 121.

[8] QS. An-Nur: 61.

[9] Lihat: Ibnu Qudamah, ­Al-Mughni libni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1969 M), vol. 9, hlm. 197, Abi Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar An-Namri Al-Qurthubi, Kitab Al-Kafi fi Fiqh Ahlil Madinah Al-Maliki, (Cet. I, Riyadh: Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsah, 1398 H/1978 M), hlm. 464, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Kafi fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Cet. I, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1414 H/1994 M), vol. 4, hlm. 117, Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syari’, (Kairo: Dar Al-Hadits, 1426 H/2005 M), vol. 9, hlm. 383, An-Nawawi Ad-Damsyiqi, Raudhah Ath-Thalibin, (Cet. I, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/2002 M), hlm. 1788, Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Darul Fikr, 1985 M), vol. 6, hlm. 418, As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Cet. IV, Beirut: Darul Fikr, 1983 M), vol. 2, hlm. 32, Shalih bin ‘Ubaid Al-Harbi, Mausu’ah Al-Ijma’ fi Fiqh Al-Islami, (Cet. I, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 1434 H/2013 M), vol. 6, hlm. 53.

[10] QS. At-Tauhbah: 91.

[11] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Darul Fikr, 1985 M), vol. 6, hlm. 418.

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Arsip