Oleh : Aa.
Ruh merupakan hal terpenting bagi kehidupan manusia. Ia merupakan indikator hidup dan matinya sebuah jasad. Imam al-Ghazali menggambarkan posisi al-ruh sebagai limpahan cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman pada seluruh anggota tubuh sebagaimana limpahan cahaya lampu yang diedarkan di setiap sudut rumah. Sesungguhnya lampu itu tidak sampai pada suatu bagian rumah, melainkan ia menerangi dengan cahaya itu. Kehidupan ini seperti cahaya yang tampak pada dinding ruangan, sedangkan al-ruh adalah seperti lampunya.[1]
Musthafa Abu Sa’ad dalam bukunya Postive Parenting menuturkan pentingnya pendidikan ruhani dan iman sebagai bekal menghadapi tantangan peradaban modern yang memunculkan keburukan dan kelemahan pada sikap dan akhlak seseorang.[2] Sehingga, seseorang yang memiliki ruhani kokoh dan keimanan kuat akan mampu menghadapi tantangan kehidupan dengan tenang dan selamat.
Dalam al-Qur’an, Allah menunjukkan tanda keagungan dan kekuasaannya berupa penciptaan al-ruh. Misalnya dalam surat al-Hijr ayat 29 :
فَإِذا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ ساجِدِينَ (29)
“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan sujud”.[3]
Al-Qurthubi memberi komentar terhadap kata al-ruh pada ayat ini sebagai tanda keagungan dan kemuliaan kepada ciptaan-Nya. Sebagaimana beliau tuliskan dalam tafsirnya :
وَالرُّوحُ جِسْمٌ لَطِيفٌ، أَجْرَى اللَّهُ الْعَادَةَ بِأَنْ يَخْلُقَ الْحَيَاةَ فِي الْبَدَنِ مَعَ ذَلِكَ الْجِسْمِ. وَحَقِيقَتُهُ إِضَافَةُ خَلْقٍ إِلَى خَالِقٍ، فَالرُّوحُ خَلْقٌ مِنْ خَلْقِهِ أَضَافَهُ إِلَى نَفْسِهِ تَشْرِيفًا وَتَكْرِيمًا، كَقَوْلِهِ: “أَرْضِي وَسَمَائِي وَبَيْتِي وَنَاقَةُ اللَّهِ وَشَهْرُ اللَّهِ”
“Ruh adalah anggota tubuh halus yang Allah ciptakan sebagai kehidupan bagi jasad. Pada hakikatnya ruh dalam ayat ini adalah penyandaraan ciptaan kepada sang Pencipta, Maka al-ruh adalah ciptaan di antara ciptaan-Nya yang disandarkan kepada Allah sebagai tanda keagungan dan kemuliaan, sebagaimana firman-Nya, “Bumi-Ku, langit-Ku, rumah-Ku, unta Allah, dan bulan Allah.”[4]
Dipergunakannya kata ruh dalam bentuk (مِنْ رُوحِي) pada ayat ini tidak berarti ruh manusia merupakan bagian dari Allah, akan tetapi penisbatan tersebut hanyalah sebuah tanda keagungan dan kemuliaan, bukan kepemilikan.
Maka ayat tersebut memberikan penjelasan betapa tingginya kualitas al-ruh manusia. Setidaknya ada dua hal yang menunjukkan itu, pertama tunduknya malaikat kepada Nabi Adam berupa diperintahkannya untuk bersujud sebagai bentuk penghormatan ketika ditiupkan al-ruh. Kedua penggunaan kata ganti “aku” yang menggambarkan bahwa sangat dekatnya Allah ﷻ dengan dzat al-ruh. Dapat disimpulkan bahwa, kualitas ruh menyebabkan meningkatnya kualitas manusia. Sehingga perlu adanya arahan, latihan dan pendidikan secara bertahap sebagai upaya pemeliharaan ruh dan kondisi jiwa agar selalu bersih dan dekat kepada sang Pencipta.
Pemaparan yang sudah penulis sebutkan di atas menunjukkan bahwa al-ruh merupakan hal mendasar bagi kualitas hidup manusia, ia merupakan penggerak dan sumber eksistensi potensi-potensi lainnya, sehingga sangat diperlukan adanya penanaman dan pembiasaan serta penguatan ruhiyyah sebagai bekal dalam menjalani kehidupan dan meraih kebahagiaan.
[1] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Cet. II, (Kairo : Dar al-Fajr, 2019), Jilid. 3, hal. 5 – 6.
[2] Mustafa Abu Sa’ad, Positive Parenting, Terj. Umar Mujtahid, ) Cet. II, (Solo: Kiswah Media, 2019, hal. 217-218.
[3] Qs. Al-Hijr : 29
[4] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Cet. I (Kairo: Darul Hadits, 2006), Jilid. 5, hal. 263